Senin, 13 Agustus 2007
Mengasihani diri sendiri (Kisah sedih dari Pilkada)
Unhappy, overly emotional and pessimistic people cannot appreciate the beauty and blessing of this world. Though they may surrounded by countless examples of this beauty, they see only negative aspect of things, and become even more depressed. However, God, in His mercy and compassion, created these blessings for the sake of human beings. A believer keeps this idea at the forefront of his mind, and is grateful to God for His Blessings.
Harun Yahya, Romanticism: A Weapon of Satan, page 114-115
(diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dzikra dengan Judul: Ancaman di balik Romantisisme)
Saya menulis artikel ini pada saat Pilkada DKI Jakarta sedang berlangsung. Sebelumnya, saya mengikuti kampanye salah satu calon. Di sana saya bertemu dengan orang-orang yang dapat dijadikan gambaran masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Salah seorang teman saya ada yang dikerubuti orang-orang yang mendapat isu bahwa partai kami menyediakan uang untuk masing-masing orang sebanyak Rp. 50.000,-. Di lokasi kampanye, banyak orang-orang yang hanya bisa minta makanan atau hal-hal yang lain, tentunya yang bersifat material. Baru pada saat itulah saya benar-benar melihat dengan mata kepala saya sendiri keadaan masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Kalau begini, siapapun pemenangnya maka rakyat tetap saja jadi pecundang, pihak yang kalah. Mirip dengan subtitle film ”Alien versus Predator” yaitu ”Whoever wins, we lose/siapapun yang menang, kita kalah”.
Apakah orang-orang ini dan banyak lagi di masyarakat tidak pernah berpikir bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, semua ini memerlukan bayaran. Coba bayangkan, apabila satu orang dikasih 50 ribu dan yang ikut kampanye dari suatu daerah ada 1000 orang, terus partai atau calon tersebut musti keluarin duit berapa? 50 ribu x 1000 = 50 juta! Itu baru dari satu daerah, belum lagi daerah-daerah lain. Terus, mengembalikan modalnya darimana, kalo bukan dari korupsi? Pengusaha kaya atau Leader MLM juga tidak punya uang sebanyak itu, apalagi partai politik yang merupakan non-profit organization (organisasi yang tidak mencari keuntungan). Saya dalam hal ini tidak memihak pada calon atau partai manapun, tapi kalo begini kapan korupsi bisa hilang dari negeri tercinta ini. Lalu, siapa yang sesungguhnya menciptakan koruptor? Siapa yang sesungguhnya melanggengkan korupsi di negeri ini?
Terus saya mikir lagi, apakah kebodohan dan kemiskinan tersebut sengaja dipertahankan agar orang-orang yang sedang berkuasa bisa mempertahankan kekuasaannya? Bukankah artinya ada ”social time bomb” (bom waktu sosial) yang bisa meledak setiap saat seperti zaman Revolusi Prancis dan sebagainya. Ingat, George Santayana mengatakan “Whoever forget the past, are condemned to repeat it” (siapa yang melupakan sejarah, maka dia akan ditakdirkan mengulanginya). Inilah masalah bangsa kita, melupakan sejarah.
Sebenarnya, banyak orang-orang yang ingin menolong mereka, namun apabila masyarakat tetap mengasihani diri mereka, tetap menganggap bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang harus selalu dibantu, ditolong dan diberi sumbangan, maka calon manapun yang jadi pemimpin, partai manapun yang menang rakyat akan tetap jadi pecundang alias pihak yang kalah.
Kepada rekan-rekan MPers dan siapa saja yang membaca tulisan ini, yuk mari kita berusaha memberdayakan masyarakat, bukan cuma membantu dalam arti memberi bantuan tanpa memberi kesempatan mereka mengubah diri. Semoga usaha kita semua, sekecil apapun, akan menjadi catatan amal yang memberatkan timbangan kebaikan kita di Yaumil Akhir (Hari Kiamat) nanti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar: