Posting kali ini masih ada hubungannya dengan acara nonton bareng Freedom Writers di NEC beberapa waktu yang lalu, namun kali ini tentang hobby lama saya, bermain video game. Jenis video game yang saya sukai pada saat itu adalah jenis Beat 'em up. Kisah-kisah game kaya gini biasanya simpel aja, misal ada gerombolan gangster merampok dan menguasai suatu kota. Pacar sang jagoan diculik dan dia bersama para jagoan lainnya, 2 atau 3 orang berusaha membebaskan sang pacar dan mengembalikan kedamaian di kota tersebut. Enggak jauh-jauh dari situ.
Contohnya seperti game klasik yang ngetop tahun 80-an dan 90-an Double Dragon beserta game-game sequel atau lanjutannya, Double Dragon 2 dst. Yang juga ngetop diantara para penggemar game seperti itu adalah Final Fight. Game-game seperti itu biasanya dimainkan di Ding-dong atau di Video Game Console. Enggak heran apabila pada waktu itu tawuran antar pelajar sekolah menengah (SMP atau SMA) sangat marak di berbagai kota di Indonesia.
Mengapa saya memberi perhatian lebih kepada dua jenis game ini? Karena yang lain kebanyakan setting-nya di negeri antah berantah seperti Dungeons & Dragons: Shadow over Mystara, The King of Dragons dan Golden Axe atau jauh di masa lalu seperti Warriors of Fate. Namun, yang dua ini mengambil setting sekitar tahun 80-an atau 90-an di dunia nyata. Permasalahan Gangster saat itu di Amerika memang sedang menggila, sebagaimana digambarkan dalam film Freedom Writers. Namun, sang Ibu Guru Erin Gruwell mampu mengatasi masalah tersebut di sekolah tempat dia mengajar dan mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari murid-muridnya. Erin Gruwell jelas bukan tipe tukang berantem atau berkelahi. Namun, sebagaimana digambarkan dalam film tersebut, dia mampu memberi solusi kepada para muridnya agar mereka mampu keluar dari keadaan mereka yang memperihatinkan itu. Usaha Ibu Erin Gruwell atau Mrs. G dan para muridnya terdokumentasikan dalam buku The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change Themselves and the World Around Them Jadi jelaslah sudah, kekerasan bukan solusi dari masalah gangster tersebut. Cara yang digunakan Mrs. G tentunya dapat juga dipergunakan di negeri tercinta kita ini, Indonesia. Tentu perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat kita ini.
Terus, siapa sih yang punya ide bahwa 1, 2 atau 3 orang jago beladiri bisa langsung turun ke jalan dan menghajar para gangster tersebut, setelah itu selesai persoalan?? Tentunya kaum Kapitalis yang ingin segera menangguk keuntungan di air keruh tanpa peduli pembodohan yang mereka lakukan kepada para pemain game tersebut. Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana anak-anak saling banting membanting tanpa berlatih terlebih dahulu gara-gara nonton acara gulat bohong-bohongan (mereka mana tahu bahwa gulat itu cuma bohong-bohongan dan udah ada script-nya) yang namanya Smackdown itu. Di Tempo Interaktif, ada berita yang menceritakan bahwa Komnas Perlindungan Anak sudah minta tanggung jawab World Wrestling Entertainment (WWE) yang ngadain acara Smackdown itu tadi. Namun, dasar kapitalis, mereka menolak bertanggung jawab dan, melalui jubirnya, berdalih bahwa masih banyak acara-acara dan hiburan-hiburan lain yang juga mengandung kekerasan. Emang banyak sih, termasuk juga yang gambarnya ada di bawah ini nih *nunjuk ke bawah*
Gambar di atas adalah seri terbaru Game Final Fight yang saya bahas di atas barusan, Final Fight: Streetwise (Streetwise artinya hati-hati di jalan, jangan macam-macam). Tokohnya memang sudah beda sih, namun ceritanya masih nyambung. Hal ini membuktikan bahwa game jenis Beat 'em up belum mati. Jadi, kita harus hati-hati, terutama bagi rekan-rekan MPers yang punya anak atau adik laki-laki. Mungkin melarang 100% belum mungkin, tetapi minimal ada beberapa hal yang bisa dicoba, diantaranya:
- Mendisiplinkan anak-anak agar bila main game jangan berlebihan.(mungkin gak ya, saya pernah lihat anak kecil nangis-nangis karena, menurut perkiraan saya, gak bole main game online di warnet).
- Menumbuhkan kepedulian sosial anak-anak dengan mengajaknya ikut kegiatan baksos, misalnya, agar mereka bisa melihat orang-orang yang lebih menderita dari mereka dan timbul rasa empati dalam hati mereka.
- Mengikutsertakan anak-anak dalam latihan bela diri, bukan untuk jadi jagoan, tetapi untuk mengetahui kelemahan diri sendiri, sehingga mereka tidak sombong dan tahu kebohongan dalam game-game di atas. Tentunya yang Islami seperti Beladiri Praktis Indonesia
- Mengajari anak-anak anatomi tubuh manusia, sehingga mereka tahu bahwa gerakan-gerakan tertentu dalam perkelahian bisa menimbulkan cedera yang serius, kecacatan bahkan kematian (hati-hati, jangan sampai nanti malah disalah gunakan)
Sebenarnya masih banyak kiat-kiat membentengi anak-anak dari media yang berpotensi merusak kehidupan dan masa depan mereka. jika rekan-rekan memiliki kritk, saran atau kiat-kiat yang bisa dibagi, dipersilahkan me-reply di kotak yang sudah disediakan (oleh Multiply dot com, he he he).
Semoga bermanfaat, terutama bagi yang sudah diamanahi oleh Alloh SWT calon-calon generasi penerus dakwah dan pembela agama, bangsa dan negara Indonesia.
12 komentar: