
Tinggalkan sepi kota asalku
Saat pagi buta
Sandang gitar usang
Ku coba menantang
Keras kehidupan
Iwan Fals - Kupaksa Untuk Melangkah
Kemarin siang, saat saya hendak berangkat untuk mengajar, bis yang saya tumpangi dimasuki pengamen. Tidak tanggung-tanggun, satu pengamen selesai manggung dan turun dari bis, yang lain naik dan mulai memamerkan aksi panggungnya. Total saat berangkat ada 4 pengamen yang manggung, baik solo ataupun group.
Pas pulang, seingat saya ada dua pengamen lagi, 1 solo yang lain group.
Saya jadi berpikir, berapa kira-kira jumlah uang yang mereka dapat sehari.
Perhitungan kasar aja ya

500 x 10 = 5000 - 5000 x 10 naik turun bis = 50000 rupiah x 20 hari ngamen per bulan = 1 juta rupiah
hmmm, Jumlah yang lumayan bukan, untuk masa krisis seperti sekarang ini

Apalagi, dengan melihat penampilan mereka yang amsih muda-muda itu, kemungkinan besar mereka masih single alias belum menikah. Tentu banyak kesempatan bagi mereka untuk membina masa depan yang cerah, dunia dan akhirat.
Namun, tentu saja jumlah tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi mereka. Belum lagi karena background pendidikan yang kurang memadai, mereka memiliki kesadaran yang rendah akan nilai uang. Mereka juga belum mampu membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. sehingga, uang yang terkumpul dalam jumlah yang lumayan itu kemungkian besar habis untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum dan tentunya hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan, seperti merokok. Saya sendiri tidak tahu apakah mereka harus menyetor pendapatan mereka ke boss preman atau tidak. jika iya, sungguh malang nasib mereka.

Pola hidup boros itu mereka jalani karena ketidaktahuan mereka, dan hal itu membuat mereka untuk enggan berubah. Hal yang demikian terjadi pula kepada orang-orang yang lain, seperti supir bis dan kernet, pedagang asongan, pengemis dan lain-lain.
Yah, mungkin seperti Bani Israel yang memilih hidup dalam cengkeraman Firaun di zaman Mesir Kuno daripada dimerdekakan oleh Nabi Musa A.S. Hanya saja, zaman sekarang ini Fir'aunnya diganti boss-boss mafia preman yang mencengkram mereka.
Tentu saja para mafia preman itu tidak akan membiarkan ladang rezeki mereka, yang diperoleh dengan jalan memeras orang lain, hilang perlahan-lahan. Mereka akan mempertahankan pendapatan mereka itu dengan sgala cara, biasanya dgn kekerasan.
Padahal, jika saja orang-orang miskin tidak dicengkram mafia, pendapatan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sisa dari pendapatan mereka bisa ditabung untuk digunakan membina masa depan yang lebih baik.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan berperan sebagai Nabi Musa bagi mereka. Orang yang berani menghadapi para boss preman itu demi membebaskan orang-orang miskin tersebut. Dia bersedia membantu mereka keluar dari zona nyaman mereka (yang sesungguhnya tidak nyaman sama sekali) bagaikan Nabi Musa meyakinkan Bani Israil keluar dari Negeri Mesir menuju kebebasan dan kemerdekaan.
Tantangan yang dihadapi tentu saja bukan saja dari luar orang-orang miskin tersebut. Sikap mengasihani diri sendiri yang menjangkiti mereka sangat menyulitkan orang-orang yang berperan sebagai Nabi Musa untuk mereka. Para "juru selamat" itu tidak akan mampu menyelamatkan diri kaum miskin papa itu apabila mereka membangkitkan semangat dalam diri mereka sendiri.
Orang-orang yang mengasihani diri sendiri menganggap diri mereka sebagai korban. Mereka cenderung menyalahkan segala hal di luar mereka sebagai penyebab kemiskinan hidup mereka. Sulit sekali membangkitkan jiwa mereka untuk mempersiapkan diri meraih masa depan yang gemilang. Kira-kira seperti itulah dahulu Nabi Musa menghadapi Bani Israel di Mesir Kuno.
Para trainer dari Institut Kemandirian (Bang Jay, Pak Supardi Lee, Mbak Niek dan lainnya) selalu menekankan bahwa hidup ini memang untuk menjalani yang susah-susah. Itulah syarat yang diperlukan untuk meraih kesuksesan, baik di dunia ataupun akhirat.

Tulisan terkait: Mengasihani diri sendiri (kisah sedih dari Pilkada)
Semoga bermanfaat
5 komentar: