Zainal Alim Murtadho namanya, saya mengenalnya sejak kelas 5 SD. Saat itu saya baru saja pindah ke SD Negeri Menteng 03 pagi dari sekolah dasar saya yang pertama yaitu SD Kepodang yang terletak dekat masjid Agung sunda Kelapa. Kami cepat sekali akrab satu sama lain, mungkin karena kami punya minat dan hobby yang sama. Maklum namanya juga anak cowok, ya gak jauh-jauh deh dari Video Games.

Sejak masih jaman Sega Master System yang warnanya merah hitam itu, yang gambarnya masih sederhana banget, sampai yang mulai rada canggih seperti SEGA Genesis/Mega Drive atau Playstation. Permainan favorit kami ya itu, yang bertema tentang perkelahian, baik yang bekerja sama atau satu lawan satu. atau bermain dengan action figures GI Joe yang ternyat sama-sama merupakan mainan favorit kami. Setiap kali saya atau dia punya yang baru, .
Mungkin karena pengaruh permainan games atau film-film action yang beredar saat itu (yang ngetop taqhun 90-an kalau gak salah Van Damme ya)
Namun, momen-momen paling berkesan adalah saat kita sama-sama mengikuti olah raga beladiri Aikido. Waktu itu sekitar pertengahan dekade 90-an, kami semua sudah lulus SMA.
"Kenapa lo mau ikut Aikido, gara-gara nonton Steven Seagal ya?" tanya Mody, panggilan akrab saya pada dia. "enggak sih, kebetulan gw lihat di satu buku, ada orang bisa ngebanting orang lain dgn cuma megang tangan lawannya, gimana tuh" kata saya. Saat itu kami langsung praktek semampu kami di rumahnya, lumayan capek juga sih, kan saya belum siap mental tuk dibanting-banting, he he he.
tempat latihan waktu itu kami berada di suatu gedung departemen pemerintahan di daerah Lapangan Banteng. Sebleum berlatih, kami harus bekerja sama mengangkat matras yang lumayan banyak, tergantung pada jumlah peserta yang akan berlatih saat itu. Latihan dimulai dengan pemanasan, lalu peragaan teknik sejenak oleh pelatih. Lalu kami berpasangan melakukan teknik yang diperagakan itu, selama beberapa saat. Setelah itu, kami kembali ke tempat semula, sambil sebelumnya memberi penghormtan ala orang jepang kepada pasangan kami.
Lalu, setelah teknik yang lain diperagakan, kami berganti pasangan dan melakukan teknik yang lain tersebut. demikian berulang-ulang.
Terkadang latihan menjadi seru saat diadakan Jiyu Waza, alias sparing bebas. satu orang diserbu secara bergantian oleh para peserta yang lain. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya bisa bereaksi dan mengantisipasi serangan lawan secepat mungkin.
walaupun resminya kami mengikuti bela diri Aikido, namun di saat-saat matras yang sudah digelar belum digulung kembali, kami seringkali menjajal teknik-teknik beladiri yang lain. Terutama kalau para pelatih sedang tidak hadir, he he he.

Pada saat itu, Ultimate Fighting Championship (UFC) dan sejenisnya memang sedang booming di seluruh dunia. para penggemar bela diri tidak henti-hentinya memperbincangkan pertarungan gila-gilaan yang nyaris tanpa aturan tersebut. hampir segala cara bertarung dihalalkan, termasuk bergumul di matras/lantai, yang bahasa kerennya Grappling.
Saat masih ada matras yang tersisa, tentu merupakan suatu godaan besar untuk berguling-guling diatasnya sambil meniru para petarung UFC bergumul.
Pada suatu saat, saat sedang bergumul, saya mencoba menjebak dia dari posisi Guard (di bawah) sambil berusaha menyarangkan choke/cekikan, armbar atau apapun yang bisa saya lakukan untuk membuatnya menyerah. Namun karena posisi Guard saya sangat lemah, dia justru dengan mudah meng-counter dan membalikkan keadaan dengan teknik favorit para pegulat Smackdown, Scorpion Death Lock. tidak ada lagi pilihan, kecuali menepuk matras dengan keras tanda menyerah.

Namun, kemenangan dan kekalsahan tentu saja silih berganti datangnya. Suatu saat saya berhasil membanting dia ke matras dengan bantingan asal-asalan ala Judo. Saat di matras, saya berhasil membuatnya menyerah dengan teknik kuncian tangan/armbar. Namun, karena memang dari dasarnya belum terlatih grappling, maka yang dikunci malah pergelangan tangan lawan, dengan teknik yang lazim digunakan dalam Aikido.

Begitulah Grappling, pada saat lawan berada dalam posisi yang lebih superior atau bahkan sudah berhasil melakukan teknik submission (membuat lawan menyerah seperti kuncian atau cekikan) maka tidak ada lagi pilihan kecuali mengakui kekalahan.
Memaksakan diri untuk terus bertarung pada posisi seperti itu lebih merupakan kebodohan daripada keberanian
Grappling dan seni bela diri lainnya sesungguhnya mengajarkan kita untuk berjuang sampai batas kemampuan kita, sampai titik darah penghabisan. Namun, pada akhirnya, jika yang datang adalah kekalahan, maka saat itulah kebesaran jiwa kita dan kelapangan dada kita diuji, mampukah kita mengakui kekalahan kita sambil mengambil hikmah dan pelajaran sebanyak-banyaknya sebagai bekal kita menuju masa depan.
Sayang sekali, kenangan pergumulan di atas matras itu sulit untuk diulang kembali, mungkin karena kesibukan dan memang sudah lama gak ketemu.
Kepinginnya sih, nanti kalau film GI Joe: Rise of COBRA udah main, bisa nonton bareng sekalian mengenang masa lalu. Pingin tahu kalau film kartun jadi orang kaya apa

18 komentar: