Sabtu, 12 Desember 2009

[Creative Non Fiction] Pak tua penjual rabuk

Sore itu, jalanan masih basah oleh hujan yang sebelumnya turun.  Udara sore itu terasa segar, karena air hujan mencuci bersih debu-debu yang ada di jalanan.  

Bapak itu datang lagi.  Dengan wajahnya yang letih dan kuyu, tertimpa beban kehidupan yang berat dan kemiskinan yang melilit.  Kaosnya terlihat kotor dan celana jins robek yang dikenakannya terlihat kusam. Dia adalah tukang rabuk langganan kami, yang menjual pupuk yang terbuat dari kotoran kuda.  Sebenarnya kami tidak terlalu membutuhkan dagangan si  bapak.  Namun, karena perasaan ingin menolong, maka kami pun membeli rabuk tersebut.  

Kami pun membagi makanan ala kadarnya yang kami punyai kepada bapak itu.  Makanan yang sama yang kami makan sehari-hari.  Saat dia sedang makan, aku sempatkan bertanya sedikit padanya.  "Pak, tinggal di mana?" tanyaku.  "Tinggal di Kuningan, belakang Perbanas.  Saya tinggal di warteg, dikasih tempat" dia lalu menunjukkan padaku kira-kira ukuran luas tempat yang diberkikan padanya.  Tidak terlalu luas, mungkin hanya cukup untuk sekedar merebahkan punggungnya yang letih tertimpa beban kehidupan yang amat sarat.  "Yah, kata yang punya warteg, kalau mau makan ya makan aja.  Paling berapa sih makan?" kata si bapak, menjelaskan padaku kebaikan pemilik warteg yang menampungnya.  Aku terdiam, aku tidak tahu berapa banyak penghasilan seorang pemilik warteg, namun kesediaan si pemilik berbagi dengan bapak itu bagiku sungguh mengagumkan.  Si bapak sudah sekitar tujuh bulan tinggal di sana, sebelum itu dia tinggal di emperan-emperan rumah atau toko.  Dia juga pernah tinggal di tempat yang seperti kandang kambing.  

Bapak itu juga menjelaskan pada mulanya si pemilik warteg tidak percaya bahwa tempat tinggalnya seperti kandang kambing.  Si pemilik warteg baru percaya setelah melihat tempat itu dengan mata kepala sendiri.  Karena itulah, si pemilik warteg mengajak si bapak tinggal di wartegnya.  Sekedar diberi tempat untuk merebahkan diri. Pak penjual rabuk itupun tahu pula membalas budi, terkadang dia membantu mencuci piring di warteg tersebut.  

"Keluarga di mana pak?" tanyaku lagi.  "Di Tangerang" jawab si bapak.  "Sering pulang kampung?" tanyaku lebih lanjut.  "Seminggu sekali, kalau ada uang" jelas si bapak.  

Mengenai pengahasilannya, si bapak bilang kalau musim hujan, biasanya rabuk yang dihasilkan kurang bagus.  Lembab dan berbau.  Namun, bila matahari bersinar cerah dan cuaca panas, rabuknya kering dan bagus.  Bapak itu sendiri tidak punya banyak langganan.  selain di tempat kami, dia terkadang menjual rabuk di kawasan Setiabudi, Kuningan.  Namun, di Setiabudi terkadang terjadi persaingan tidak sehat.  Dia seringkali tersingkir oleh kawan-kawannya yang lain, sesama penjual rabuk.  Yah, suatu dunia yang keras dan kejam.  Yang seringkali menindas yang lemah dan menguatkan yang kuat.  

"Yah, kalau sudah rezeki sih ada aja" kata bapak itu pasrah. Kepasrahan memang salah satu ciri orang-orang miskin di negeri ini.  Terkadang kepasrahan itu merupakan satu-satunya penghibur hati dari pahit getir kemiskinan yang seakan mencengkram sampai ke tulang sumsum.  Seakan-akan membenarkan thesis Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society.  Erich Fromm menyebut masyarakat miskin seperti bapak itu dengan sebutan Receptive Society.  Masyarakat yang lebih banyak pasrah pada kehidupan, lebih suka menunggu bantuan.  

Kepasrahan pada kadar tertentu adalah sesuatu yang baik.  Manusia, apabila sudah maksimal usahanya, harus memasrahkan hasil usaha tersebut pada Allah SWT.  Kepasrahan tingkat tersebut bisa disebut tawakkal.  Namun, pada kadar yang terlalu banyak, tentu bisa berefek melemahkan semangat hidup.  Pada tingkat yang sudah sangat parah, kepasrahan bisa saja diartikan sebagai apatisme atau fatalisme.  Tidak lagi mau melakukan apa-apa.  

Tidak berapa lama kemudian, si bapak tua itupun pamit untuk kembali ke tempat tinggalnya.  Tempat tinggal yang tidak banyak memberikan apa-apa.  Selain tempat untuk sekedar merebahkan diri, untuk sejenak beristirahat.  Untuk kemudian kembali bergelut dengan dunia yang penuh penderitaan, kepedihan dan kegetiran.  Dunia yang berada dalam cengkeraman kejam yang bernama KEMISKINAN.      

Saat melihat bapak itu pergi, terngiang lagi di telingaku, suatu lagu yang sering kali kudengar waktu menjadi seorang bocah kecil yang sering mengenakan celana pendek biru.  Ya, waktu itu aku masih di SMP. Lagu itu sudah sering aku dengar, namun baru sekarang aku tahu maknanya.  Semenjak aku sering kali mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan komunitas-komunitas kerelawanan .................

Kota adalah rimba
belantara buas
Dari yang terbuas...

Setiap jengkal lorong
dan pecik darah
Darah dari iri...
darah dari benci
Bahkan darah dari sesuatu
yang tak pasti...

Kota adalah rimba belantara
liar dari yang terliar...
Setiap detik lidah-lidah liar
rakus menjulur lapar...

Tangis bayi adalah lolong
srigala…di bawah bulan...
Lengking tinggi merobek
batu-batu tebing keras dan kejam

Bernafas diantara sikut
licik dan garang
Bergerak diantara ganasnya
selaksa karat...

Kota adalah hutan belantara akal
Kuat dan berakar...menjurai
Di depan mata...siap menjerat
di depan mata...siap menjerat leher kita

(Kota by Iwan Fals)

2 komentar: