Selasa, 22 Juni 2010

Jakartaku sayang, Jakartaku malang, kado ultah Jakarta

Gegap gempita terdengar di berbagai penjuru kota. sebagai ibukota dari sebuah negeri yang sedang dilanda krisis multidimensi, Jakarta seakan tak peduli. Aroma hedonisme, materalisema dan sekulerisme merebak di mana-mana. Seakan tak peduli lagi, rasa sakit yang menggerogoti diri. Lupa diri lupa daratan, mabuk kesenangan.

Jakarta kembali merayakan hari jadinya. Walaupun, sebagaimana telah menjadi rahasia umum, hampir tidak ada kemajuan berarti bagi warga kota tersebut. Selain pembangunan fisik semata, tidak ada peningkatan moral dan spiritualitas, apalagi kesejahteraan. Namun, hal tersebut seakan tidak menyurutkan gairah kota tua yang terus bersolek bak anak muda ini untuk kebmali berpesat pora. Pesta yang diadakan diatas derita warga kota tersebut.

Di balik kemeriahan pesta, tak terhitung lagi banyaknya fakir miskin yang merintih kesakitan dan kelaparan. Kemiskinan bagai ular raksasa yang membelit tubuh mereka hingga remuk tulang-tulangnya.

Kearifan umat beriman telah kulepaskan
Kini kupelajari kearifan umat yang murtad
Kearifan umat yang murtad adalah kebohongan dan tipu muslihat
Apakah kebohongan dan tipu muslihat? Perusak jiwa dan penegak tubuh

(Mohammad Iqbal dalam HIKMAH FIRAUN)

Seorang jurnalis foto dari Belgia, Thibault Gregoire, menerbitkan sebuah buku One day in Jakarta. Buku tersebut berisi foto-foto tentang Jakarta, mulai dari yang paling mewah sampai paling kumuh, paling sholeh sampai paling banyak maksiat. Foto-foto berkualitas tinggi itu seakan bercerita jujur apa adanya. Bagaimana seorang anak jalanan tertidur di lantai stasiun Manggarai dalam keadaan dekil, penuh daki dan kotoran. Bagaimana seorang ibu mencuci di sungai yang berair keruh dan sejumlah orang berkumpul di bawah kolong jembatan, yang menjadi tempat tinggal bagi mereka. Masih banyak lagi foto-foto sejenis. Foto-foto tersebut bisa dilihat di galeri berikut ini.

Di sisi lain, pusat-pusat perbelanjaan megah dan mewah menjamur di mana-mana. Jakarta telah menjadi salah satu kota yang paling banyak pusat perbelanjannya di dunia. Seakan tidak ada lagi kaum miskin di sana, sepertinya kantong semua orang yang datang sesak berisi lembaran-lembaran rupiah yang siap dibelanjakan apa saja dan kapan saja. Entah butuh atau sekedar ingin semata. Kerusuhan dan penjarahan yang terjadi pada bulan Mei 1998 seakan lenyap tak berbekas dari ingatan, apalagi diambil hikmah dan pelajaran di dalamnya.

Padahal, hanya beberapa meter saja, sudah ada orang-orang yang terpaksa mengerjakan apa saja yang mereka bisa hanya untuk bertahan hidup. Semau terekam dalam buku kumpulan foto tersebut. Keadaan Jakarta yang sesungguhnya, carut marut para penghuninya, sudah bukan merupakan rahasia lagi. Bahkan seorang jurnalis foto asing dengan mudah bisa mengabadikan keadaan tersebut.

Generasi tuanya congkak luar biasa
Yang muda sibuk berias seperti wanita kampungan
Kemauan yang muncul dari hati mereka tak pernah mantap
Mereka dilahirkan mati dari rahim-rahim mereka
Gadis-gadisnya terjerat oleh mode pakaian
Dan bermacam-macam alat kecantikan
Mereka senang berpakaian mewah
Alis matanya dirias seperti sepasang pedang
Perhiasannya gemerincing menyilaukan mata
Buah dadanya dipamerkan seperti ikan di kolam

(Mohammad Iqbal dalam HIKMAH FIRAUN)

DR Adian Husaini, dalam artikel beliau Tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa, pernah mengungkapkan keprihatinannya. Patung Diponegoro yang terletak di depan sebuah gedung peninggalan kaum Mason Belanda berdiri dengan tegaknya. Patung yang sesungguhnya tidak diinginkan pahlawan yang dipatungkan tersebut. Namun, mengapa tidak ada ormas atau partai yang memperotes pembangunan patung tersebut, yang menelan anggaran sekitar sepuluh milyar rupiah. Suatu jumlah yang tidak sedikit, mengingat masih banyaknya rakyat yang menderita kelaparan, kemiskinan dan kebodohan.

Syahadatnya adalah mengabdi pada kekuatan asing
Dan candi dibangun dengan batu bata rerontok masjid
Sungguh malang bangsa yang menjauhkan diri dari Tuhan dan wahyu-Nya
Ia adalah bangsa yang mati, namun tak sadar bahwa ia mati.

(Mohammad Iqbal dalam HIKMAH FIRAUN)

Namun, begitulah Jakarta. Kota tua yang seakan tidak sadar akan ketuaannya. Kota yang terus menerus bersolek mengikuti perkembangan zaman, tanpa sadar akan dibawa ke mana. Kota yang dibesarkan, dimanjakan dan dirawat oleh peradaban Setan, yang digagas Iblis Laknatullah. Jakarta yang nafasnya sudah tersengal-sengal namun tetap saja melangkah, bankan mencoba berlari.

Bisa jadi, jakarta ini adalah gambaran besar dari para penghuninya, walaupun tentu tidak semua. Manusia-mausia yang lebih suka memperindah tubuh daripada jiwa dan hati. Manusia-manusia pengikut peradanba Barat, peradaban yang membesarkan Jakarta dan Indonesia. Membesarkan secara fisik namun menghancurkan secara moral dan spiritual.

Bumi Siria memberi kepada Barat
Seorang Nabi Saleh, tulus dan suci
Sebagai gantinya Siria mendapat dari Barat
Senjata, minuman keras dan para pelacur.

(Mohammad Iqbal)


Tulisan sederhana untuk Jakarta tercinta, sungguh malang nasibmu, hiks

4 komentar: