Rabu, 07 Juli 2010

[Daily Life] Empati di petang hari

Bukan kebetulan saya merasa mendapat banyak pelajaran tentang empati sore kemarin.  Pada mulanya sih karena hendak mengambil HT di Radio D FM, dari mbak Ari.  Untuk sampai ke daerah Warung Buncit, yang paling praktis walaupun tidak terlalu nyaman krn jam super sibuk, adalah dengan menggunakan Trans Jakarta alias Busway. 

Namun, walau sudah dikasih "privilege" untuk melwati jalur sendiri, terpisah ari kendaran lain, namun tetap saja jalur itu penuh.  Bukan karena armada buswaynya banyak, namunbanyak kendaraan pribadi yang ikutan nimbrung di jalur itu.  Banyak motor dan mobil yang masuk sehingga si busway pun ikut-ikutan tersendat.  Orang yang berdiri dekat saya pun berkata pada temannya "nah, berasa kan, sudah naik busway masih lambat.  Makanya, kalau naik mobil jangan masuk jalur busway... ". Yup, sebuah pelajaran yang luar biasa tentang empati.  Rela bermacet ria karena bertenggang rasa dengan para pengguna trans Jakarta mungkin bukan pilihan yang menyenangkan, namun dengan mengikuti peraturan seperti itu, semoga ketertiban dan kelancaran yang kita dambakan bersama bisa terwujud.  Kebaikan sekecil apapun tentu tidak akan disia-siakan oleh Dia Yang Maha Pemurah.  

Setelah bertemu mbak Ari dan meminjam HT, saya sempatkan untuk berkunjung ke Jakarta Book Fair di Senayan.  Dalam perjalanan, bis Kopaja yang saya tumpangi berjalan pelan, seperti biasa hendak menambah penumpang.  Namun,  bis besar yang ada di belakangnya membunyikan klakson berulang kali, tidak sabar hendak mendahului.  Mungkin karena penumpang sudah penuh atau ada keperluan lain.  Kopaja pun enggan beranjak lebih cepat, sang supir malah berteriak memaki bus yang di belakangnya.  "Kita kan sama-sama cari duit ......... bla bla bla". Makian tersebut tidka bisa diterima supir bis besar dan kondekturnya.  Makian yang tidak kalah sengit pun terlontar, hingga tidak hanya isi kebon binatang yang keluar namun, maaf, apa yang biasa dibuang ke belakang juga ikutan muncul. 

Suasana yang "chaotic" itu membuat saya bergegas keluar dan berjalan kaki ke Istora, walau masih agak jauh.  

Di bookfair saya melihat buku yang ditulis oleh teman-teman Kajian Zionisme.  Buku yang juga memuat tulisan saya tersebut ada di stand Penerbit Cakrawala, harganya sudah didiskon ... sekalian promosi ..




Buku yang berkisah tentang penjarah organ tubuh orang-orang Palestina oleh kaum Zionis itu juga dilengkapi tulisan-tulisan tentang Zionisme.  Banyak diantara tulisan tersebut yang merupakan hal-hal mendasar yang perlu diketahui siapapun yang berminat mengkaji zionisme.  Insya Allah tidak rugi apabila ada diantara sahabat sekalian yang membeli, membaca dan mempelajari isi buku tersebut.  Bicara tentang empati, Insya Allah semua tulisan dalam buku itu dapat menggugah empati.  

Pulangnya, saat hari sudah malam, saya naik kopaja lagi.  Pada saat hendak turun, saya tidak tahu apakah sudah di tempat yang tepat atau belum.  Namun, lagi-lagi ketiadaan empati dari supir membuat hati jadi tidak nyaman.  "Turun di mana pak" kata supir dengan suara keras.  Ya sudah .. Langsugn lompat saja deh, untung selamat ...

Malam, karena belum bisa tidur, saya melihat TV.  dari saluran TV luar negeri, ada film berjudul City of Life and Death.  Sebuah film yang dibuat berdasarkan "Pembantaian Nanking" yang terjadi tahun-tahun awal pada perang Dunia II.  Film tersebut memang cukup sadis, dengan penggambaran pembantaian kekerasan yang vulgar.  Namun, di luar segala kontroversi, film tadi bisa membantu kita mengasah empati dan mensyukuri betapa nyaman kehidupan kita ini.  Paling tidak, negeri ini belum dilanda perang lagi seperti yang pernah dialami para pendahulu kita dulu.  

Empati mungkin bukan segala-galanya, namun tanpa empati, tidak ada hubungan yang bisa dijalin dengan baik, dan kerusakan hubungan sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan segala-galanya. 

Semoga bermanfaat

3 komentar: