Malam telah mengurung Jakarta dengan sayap sayap hitamnya. Para jamaah sholat Isya di masjid Al Bina yang terletak di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, telah selesai melaksanakan ibadah yang diwajibkan bagi mereka itu dan beranjak pulang ke kediaman masing-masing. Tinggal sedikit manusia yang tersisa di masjid yang terletak di kawasan prestisius yang super sibuk di pusat kota Jakarta itu. Para pedagang pun mengemasi dagangan mereka dan para marbot pun membereskan kembali kotak amal untuk disimpan di tempat yang aman. Beberapa orang pun menyempatkan diri untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga dan menarik nafas sejenak.
Diantara kesibukan tersebut, dua orang anak tampak bersemangat menendang botol bekas minuman air mineral yang sudah kosong. Mereka bermain di pelataran masjid yang ditutupi ubin keramik. Botol itu diisi pasir sedikit agar cukup berat untuk bisa ditendang. Bak pemain bola profesional, kedua anak itu saling beradu untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Gerak lincah kaki - kaki kecil saat menendang dan mengejar bola beriringan dengan tawa riang kedua bocah itu saat mereka beraksi. Tak jarang, salah satu atau keduanya terjatuh karena semangat olah raga dan kegembiraan yang tak terbendung lagi. Bola yang terbuat dari botol air mineral itu pun meluncur bergesekan dengan lantai ubin hingga menghasilkan bunyi yang khas. Walaupun mungkin mengganggu bagi sebagian orang, namun bunyi-bunyian itu seakan tak peduli. Dia terus melepaskan energi kegembiraan ke sekelilingnya.
Beberapa pemuda pun turut menyemangati kedua bocah. Mereka berteriak dan tertawa-tawa seraya menyebut nama seorang pemain bola profesional yang diidolakan banyak penggemar sepak bola. Kedua bocah pun bertambah senang bermain, seakan semangat sang idola menyatu dalam diri mereka. Lampu sorot yang menerangi pelataran masjid pun terlihat seperti lampu-lampu stadion sepak bola, mengiringi mimpi mereka saat itu untuk menjadi pemain bola profesional. Seakan mereka diangkat sejenak dari kehidupan mereka yang miskin dan jauh dari segala fasilitas yang penuh kenyamanan.
Diantara kesibukan tersebut, dua orang anak tampak bersemangat menendang botol bekas minuman air mineral yang sudah kosong. Mereka bermain di pelataran masjid yang ditutupi ubin keramik. Botol itu diisi pasir sedikit agar cukup berat untuk bisa ditendang. Bak pemain bola profesional, kedua anak itu saling beradu untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Gerak lincah kaki - kaki kecil saat menendang dan mengejar bola beriringan dengan tawa riang kedua bocah itu saat mereka beraksi. Tak jarang, salah satu atau keduanya terjatuh karena semangat olah raga dan kegembiraan yang tak terbendung lagi. Bola yang terbuat dari botol air mineral itu pun meluncur bergesekan dengan lantai ubin hingga menghasilkan bunyi yang khas. Walaupun mungkin mengganggu bagi sebagian orang, namun bunyi-bunyian itu seakan tak peduli. Dia terus melepaskan energi kegembiraan ke sekelilingnya.
Beberapa pemuda pun turut menyemangati kedua bocah. Mereka berteriak dan tertawa-tawa seraya menyebut nama seorang pemain bola profesional yang diidolakan banyak penggemar sepak bola. Kedua bocah pun bertambah senang bermain, seakan semangat sang idola menyatu dalam diri mereka. Lampu sorot yang menerangi pelataran masjid pun terlihat seperti lampu-lampu stadion sepak bola, mengiringi mimpi mereka saat itu untuk menjadi pemain bola profesional. Seakan mereka diangkat sejenak dari kehidupan mereka yang miskin dan jauh dari segala fasilitas yang penuh kenyamanan.
Salah satu pemuda yang lebih tua pun ikut bermain. Terkadang si pemuda berperan sebagai wasit bagi kedua bocah, terkadang dia mengajari mereka. Tentunya sebatas pengetahuan yang dia ketahui tentang sepak bola. Namun, semua itu tidaklah penting. Betapapun terbatasnya pengetahuan si pemuda, namun sama sekali tidak mengurangi kegembiraan mereka. Mereka sangat menikmati permainan sederhana tersebut. Tidak sedikitpun terlihat ketidakpuasan mereka atas permainan itu. Walaupun permainan itu bukan permainan-permainan elektronik yang harus dimainkan dengan komputer canggih berkoneksi internet. Meskipun bukan permainan canggih ada di berbagai pusat perbelanjaan yang tak jauh dari tempat para bocah bermain.
Manusia yang ada di sana pun semakin berkurang. Kedua bocah dan para pemuda itu pun menyadari bahwa kesenangan yang mereka sedang nikmati itupun harus berakhir. Larutnya malam membuat mereka harus kembali. Bola mereka yang terbuat dari botol air mineral itu pun dilemparkan ke tempat sampah, tempat di mana seharusnya benda itu berada. Lalu sambil tak henti tertawa mereka pun meninggalkan pelataran Masjid Al Bina. Kembali ke kehidupan nyata yang penuh pahit getir kemiskinan yang selama ini membelenggu mereka. Entah sampai kapan.
Note: ditulis untuk belajar menulis Feature, semoga bermanfaat
5 komentar: