Terlepas dari pro dan kontra mengucapkan selamat hari raya suatu agama oleh penganut keyakinan berbeda, hari-hari raya itu sendiri sudah banyak yang kehilangan makna. Generasi muda, apalagi yang disebut generasi digital, lebih mementingkan kepentinga ego pribadi dan kepuasan sesaat dibandingkan hal-hal yagn bersifat spiritual keagamaan. Mereka banyak yang menganggap bahwa libur di hari-hari raya keagamaan adalah kesempatan untuk bersenang-senang dan lepas dari beban tanggung jawab di sekolah atau kuliah. Ada yang mengisi libur dengan bermain games online berjam-jam di warnet, ada yang jalan-jalan dan seabrek kegiatan lainnya yang fun namun hampa makna dan minim manfaat.
Peradaban sekuler materialistik telah mereduksi ritual-ritual agama menjadi perayaan hampa makna. Semua diarahkan untuk belanja yang bersifat konsumtif. Berbagai macam potongan harga ditawarkan sehingga para konsumen pun seakan sulit untuk mengendalikan diri untuk tidak terlalu banyak belanja. Semua itu demi terus bergeraknya Mesin ideologis bernama kapitalisme. Menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, para penerbit buku berlomba menerbitkan buku tentang Islam. Buku-buku agama Islam pun didiskon sekian persen dan sekian persen. Saat menjelang Natal, giliran buku-buku agama Kristen yang didiskon. Pemasaran ala kapitalis memang labil dan cenderung mengikuti trend yang berlaku saat itu. Hari-hari raya keagamaan pun akhirnya tereduksi menjadi trend untuk merancang strategi pemasaran dan melariskan dagangan sebanyak mungkin.
Dalam situs Voa Islam, terdapat sebuah artikel tentang para karyawan muslim yang merasa keberatan mengenakan atribut suatu agama yang hari rayanya akan segera dirayakan. Mereka mengadu pada suatu organisasi massa Islam yang langsung mengeluarkan fatwa haram untuk mengenakan atribut tersebut. Entah fatwa itu didengar dan diperhatikan atau tidak, yang kita lihat di toko-toko masih banyak mengenakan atribut-atribut tersebut. Entah mereka muslim atau bukan, terpaksa atau suka rela, kita tidak tahu.
Memang, tidak ada larangan tegas bagi kaum muslimin untuk bekerja pada orang-orang non muslim. Namun, terkadang timbul konflik antara keyakinan spiritual seseorang dengan peraturan di tempat dia bekerja. Sebagai contoh, sebuah restoran memiliki kebijakan para pelayannya harus melayani tamu saat jam makan siang, termasuk pada hari Jumat. Padahal karyawan yang muslim wajib untuk sholat Jumat. Atau jika ada pekerjaan yang mengharuskan seseorang masuk ke "wilayah abu-abu" yang tidak jelas halal-haramnya, terutama dalam hal finansial/keuangan. Mungkin, karyawan non muslim pun ada yang keberatan apabila harus mengenakan atribut khas muslim seperti peci, baju koko atau sarung (walaupun bukan bagian dari syariat Islam) saat menjelang hari raya Idul Fitri misalnya. Namun, demi keuntungan material yang hendak diperoleh, semua itu tidak lagi dianggap penting.
Toleransi memang terkadang terlalu jauh menyentuh aspek-aspek aqidah / keyakinan terdalam dalam kepercayaan seseorang. Mungkin manusiawi, namun jangan sampai hal itu membuat seseorang harus tertekan hati nuraninya. Jika berkelanjutan, maka toleransi yang dipaksakan seperti itu bisa menimbulkan depresi dan perasaan bersalah yang mendalam dan sangat menyiksa batin orang-oerang yang masih berusaha memegang teguh keyakinan agamanya.
Masalah tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih giat lagi membangun kemandirian di bidang ekonomi. Kaum musimin harus ada yang berani berhijrah dari orang gajian, dalam istilah Pak Valentino Dinsi, menjadi orang-orang yang mampu menggaji saudara-saudaranya yang masih ingin memegang teguh agamanya. Seorang pengusaha muslim yang baik dan memengang teguh keyakinannya Insya Allah akan berusaha menerapkan Islam semaksimal mungkin di perusahaan yang dia pimpin. Sholat berjamaah dan ibadah sunnah seperti Sholat Duha akan bisa ditradisikan di dalam perusahaan tersebut. Yang lebih penting lagi bagi kaum muslimin adalah mengembalikan kembali nilai nilai kesucian dan spiritual yang hilang dari hari-hari raya mereka. Agar tidak lagi menjadi sekedar ritual hampa makna.
Semoga bermanfaat, mohon maaf bagi yang kurang berkenan
Peradaban sekuler materialistik telah mereduksi ritual-ritual agama menjadi perayaan hampa makna. Semua diarahkan untuk belanja yang bersifat konsumtif. Berbagai macam potongan harga ditawarkan sehingga para konsumen pun seakan sulit untuk mengendalikan diri untuk tidak terlalu banyak belanja. Semua itu demi terus bergeraknya Mesin ideologis bernama kapitalisme. Menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, para penerbit buku berlomba menerbitkan buku tentang Islam. Buku-buku agama Islam pun didiskon sekian persen dan sekian persen. Saat menjelang Natal, giliran buku-buku agama Kristen yang didiskon. Pemasaran ala kapitalis memang labil dan cenderung mengikuti trend yang berlaku saat itu. Hari-hari raya keagamaan pun akhirnya tereduksi menjadi trend untuk merancang strategi pemasaran dan melariskan dagangan sebanyak mungkin.
Dalam situs Voa Islam, terdapat sebuah artikel tentang para karyawan muslim yang merasa keberatan mengenakan atribut suatu agama yang hari rayanya akan segera dirayakan. Mereka mengadu pada suatu organisasi massa Islam yang langsung mengeluarkan fatwa haram untuk mengenakan atribut tersebut. Entah fatwa itu didengar dan diperhatikan atau tidak, yang kita lihat di toko-toko masih banyak mengenakan atribut-atribut tersebut. Entah mereka muslim atau bukan, terpaksa atau suka rela, kita tidak tahu.
Memang, tidak ada larangan tegas bagi kaum muslimin untuk bekerja pada orang-orang non muslim. Namun, terkadang timbul konflik antara keyakinan spiritual seseorang dengan peraturan di tempat dia bekerja. Sebagai contoh, sebuah restoran memiliki kebijakan para pelayannya harus melayani tamu saat jam makan siang, termasuk pada hari Jumat. Padahal karyawan yang muslim wajib untuk sholat Jumat. Atau jika ada pekerjaan yang mengharuskan seseorang masuk ke "wilayah abu-abu" yang tidak jelas halal-haramnya, terutama dalam hal finansial/keuangan. Mungkin, karyawan non muslim pun ada yang keberatan apabila harus mengenakan atribut khas muslim seperti peci, baju koko atau sarung (walaupun bukan bagian dari syariat Islam) saat menjelang hari raya Idul Fitri misalnya. Namun, demi keuntungan material yang hendak diperoleh, semua itu tidak lagi dianggap penting.
Toleransi memang terkadang terlalu jauh menyentuh aspek-aspek aqidah / keyakinan terdalam dalam kepercayaan seseorang. Mungkin manusiawi, namun jangan sampai hal itu membuat seseorang harus tertekan hati nuraninya. Jika berkelanjutan, maka toleransi yang dipaksakan seperti itu bisa menimbulkan depresi dan perasaan bersalah yang mendalam dan sangat menyiksa batin orang-oerang yang masih berusaha memegang teguh keyakinan agamanya.
Masalah tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih giat lagi membangun kemandirian di bidang ekonomi. Kaum musimin harus ada yang berani berhijrah dari orang gajian, dalam istilah Pak Valentino Dinsi, menjadi orang-orang yang mampu menggaji saudara-saudaranya yang masih ingin memegang teguh agamanya. Seorang pengusaha muslim yang baik dan memengang teguh keyakinannya Insya Allah akan berusaha menerapkan Islam semaksimal mungkin di perusahaan yang dia pimpin. Sholat berjamaah dan ibadah sunnah seperti Sholat Duha akan bisa ditradisikan di dalam perusahaan tersebut. Yang lebih penting lagi bagi kaum muslimin adalah mengembalikan kembali nilai nilai kesucian dan spiritual yang hilang dari hari-hari raya mereka. Agar tidak lagi menjadi sekedar ritual hampa makna.
Semoga bermanfaat, mohon maaf bagi yang kurang berkenan
3 komentar: