Minggu, 11 Desember 2011

[Sosial] Bakar Diri Sebagai Sebentuk Kritik Sosial

Beberapa hari terakhir ini, perhatian masyarakat tertuju pada seorang pemuda yang membakar dirinya di depan Istana.  Beragam tanggapan orang menyikapi fenomena yang tidak biasa itu.  Ada yang bilang si pelaku protes atas kinerja pemerintah yang tidak memuaskan sampai yang mengatakan bahwa semua ini hanya untuk cari sensasi.  Apapun motivasinya, hal itu mungkin selamanya akan jadi misteri berhubung si pelaku kini telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.  Menjatuhkan diri dalam kebinasaan, apalagi dengan cara membakar diri, jelas tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.  Islam memerintahkan para pengikutnya agar selalu mencari cara-cara konstruktif dalam mengatasi persoalan dan ujian kehidupan.  

Namun, fenomena bakar diri seharusnya menjadi kritik pedas dan masukan berharga bagi pihak penguasa untuk mulai memperhatikan setidaknya mendengarkan keluhan rakyatnya.  Betapa selama ini mereka sudah terlena dengan kenyamanan dan kemewahan sehingga tidak lagi mampu memahami derita rakyat yang miskin dan sengsara.  Mereka yang biasa kenyang dengan hidangan lezat tentu susah merasakan perihnya rasa lapar yang melilit perut sebagian rakyat Indonesia.  Mereka yang selalu berpergian dengan mobil-mobil mewah tentu sulit untuk berempati pada para pekerja yang harus selalu bolak balik menggunakan angkutan umum yang padat, semerawut dan rawan kejahatan.  Mereka yang selama ini kantongnya terus menerus bertambah tebal tentu tidak mampu membayangkan ada orang yang keuangannya sangat terbatas hingga makanan pun hampir tak terbeli.  Kekayaan alam negeri ini yang begitu melimpah ternyata hanya bisa dinikmati segelintir penduduknya.  Yang lain hanya mendapat sisa, itu pun kalau masih ada.  Orang-orang miskin telah menjadi fenomena yang biasa, sehingga terlupakan bahwa mereka juga manusia dan warga negera yang berhak mendapat hak-haknya di negeri ini.  Semua itu seakan mengingatkan kita kembali pada kata-kata sang maestor manajeman Pieter F. Drucker "Tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara salah urus".  Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pernah bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Bukhari - 6015).  Sehingga, bisa dipahami apabila ada orang yang sudah putus asa lalu protes dengan cara membakar diri.  Apalagi lokasi yang dipilih untuk melakukan tindakan nekat itu adalah di depan istana Negara, simbol dari pemerintahan Indonesia. 

Fenomena bakar diri di depan Istana adalah puncak gunung es dari pesoalan sosial yang sudah lama terpendam di negeri ini.  Kritik sosial pada para penguasa sudah lama dilakukan baik oleh para mahasiswa, sniman maupun rakyat jelata.  Beragam karya mulai dari puisi, karikatur, lagu sampai teater banyak yang menyoroti kinerja pemerintah yang dianggap zalim dan tidak memuaskan.  Beragam talkshow dan parodi politik yang tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan semenjak era reformasi seakan tak berpengaruh pada keadaan masyarakat.  Kini, daripada ikut-ikutan bakar diri, mungkin sudah waktunya kita bertanya pada rumput yang bergoyang. 

 

Mungkin Tuhan mulai bosan

Melihat tingkah kita

Yang selalu salah dan bangga

dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan

Bersahabat dengan kita

Coba kita bertanya pada

Rumput yang bergoyang

 

Ebiet G. Ade, Berita kepada kawan 

7 komentar: