Suatu ketika saat berada di sebuah perkampungan padat, saya melihat beberapa selebaran yagn ditempel di tembok. Selebaran itu berisi fotokopi artikel tentang sebuah Mega Proyek pembangunan sentra bisnis terpadu yang sedang dikerjakan di dekat perkampungan tersebut. Selain artikel, selebaran itu juga berisi ajakan agar warga yang tanahnya akan dijual menahan harga, jangan sampai dilepas dengan harga terlalu murah. Pihak penyebar selebaran itu mungkin merasa prihatin dengan ketidakmampuan masyarakat mengakses informasi sehingga tidak mengetahui berapa sebenarnya nilai proyek yang akan dibangun di tanah mereka.
Mega Proyek itu sangat luar biasa, terdiri dari gedung dan aparement serta sarana-saran penunjang lainnya. Proyek itu bertujuan memadukan tempat tinggal, tempat kerja dan kegiatan bisnis serta rekreatsi keluarga dalam satu kawasan. Sehingga, para penghuninya akan terhindar dari kemacetan Ibu Kota yang sampai hari ini belum juga teratasi. Sehingga, banyak waktu yang bisa dihemat dan efisiensi kerja serta bisnis bisa ditingkatkan. Di situs Vivanew.com dapat kita temukan sebuah artikel yang mengulas profil para pengembang superblock seperti proyek itu.
Namun, tentu saja kita tahu siapa saja yang bisa membeli apartement di sana. Tentu bukan pegawai-pegawai rendahan yang gajinya pas-pasan, yang untuk hidup sehari-hari masih kerepotan. Kalau bukan level manager ke atas ya orang asing. Merekalah yang mampu secara finansial menikmati semua fasilitas tersebut demi kenyamanan dan gaya hidupnya. Rakyat kecil yang miskin mungkin hanya bisa berjalan - jalan di sekitar kompleks tersebut tanpa bisa menikmati lebih banyak lagi.
Jika informasi yang ada di selebaran itu benar, maka ganti rugi yang diterima masyarakat tidak seimbang dengan nilai mega proyek yang sedang dikerjakan. Selebaran itu sepertinya dibuat oleh mereka yang peduli dan prihatin akan besarnya ganti rugi yang diterima masyarakat. Artikel yang disertakan dalam selebaran itu digunakan untuk memberi informasi agar masyarakat sadar siapakah sesungguhnya yang hendak membeli tanah yang mereka tempati. Sehingga, mereka menyadari hak mereka untuk mendapat ganti rugi yang layak. Jangan sampai sesudah mereka rela melepaskan tempat tinggal mereka, ternyata mereka tidak bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak. Sudah merupakan rahasia umum bahwa penggusuran seringkali melibatkan banyak kepentingan, mulai dari pengusaha, penguasa, pekerja sampai penduduk yang tanahnya digusur. Sehingga, persoalan penggusuran menjadi salah satu masalah sosial paling kompleks di negeri ini.
Satu hal yang seringkali terlupakan adalah bahwa orang-orang miskin juga manusia. Mereka berhak mendapat tempat tinggal yang layak dan berhak pula mendapat kesempatan untuk hidup layak. Mereka juga perlu makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Seharusnya, tidak boleh ada manusia yang tinggal di tempat yagn tidak layak ditempati sperti emperan toko, jembatan penyebarangan atau kolong jembatan. Rumah-rumah kumuh yang terletak di gang-gang sempit pun seharusnya tidak ada. Degnan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik dalam bentuk bahan tambang atau hasil pertanian, rakyat Indonesia seharusnya tidak ada yang miskin. "This country shouldn't be poor" begitu kata John Perkins dalam film dokumenter The New Rulers.
Modal utama untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia adalah adanya kemauan dan keberanian. HS Dillon pernah mengatakan "Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, kita tidak perlu mengemis hutang kepada IMF atau memerlukan bantuan dari lembaga asing.Jika 10% orang terkaya di Indonesia memberikan 20% penghasilannya (bukan harta atau asetnya) maka tidak ada lagi orang miskin di Indonesia pada tahun itu." (H.S. Dillon, KOMPAS; Selasa, 17 Oktober 2006). Sehingga, asalkan penduduk negeri ini, terutama yang kaya, tidak begitu serakah, maka kemiskinan akan dengan mudah teratasi. Minimal kaum miskin bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi kebututan hidup mereka yang paling mendasar.
Namun sayang, peradaban kita sekarang ini adalah peradaban yang memanjakan yang kaya serta menindas yang miskin. Peradaban yang mengedepankan ego, kepentingan duniawi serta kekayaan materi. Bukan agama, spiritualitas dan kepedulian pada sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Sehingga, mimpi mewujudkan peradaban yang peduli, beradab dalam lindungan keridhoan Allah subhawataala masih jauh dari kenyataan.
Semgoa bermanfaat
Mega Proyek itu sangat luar biasa, terdiri dari gedung dan aparement serta sarana-saran penunjang lainnya. Proyek itu bertujuan memadukan tempat tinggal, tempat kerja dan kegiatan bisnis serta rekreatsi keluarga dalam satu kawasan. Sehingga, para penghuninya akan terhindar dari kemacetan Ibu Kota yang sampai hari ini belum juga teratasi. Sehingga, banyak waktu yang bisa dihemat dan efisiensi kerja serta bisnis bisa ditingkatkan. Di situs Vivanew.com dapat kita temukan sebuah artikel yang mengulas profil para pengembang superblock seperti proyek itu.
Namun, tentu saja kita tahu siapa saja yang bisa membeli apartement di sana. Tentu bukan pegawai-pegawai rendahan yang gajinya pas-pasan, yang untuk hidup sehari-hari masih kerepotan. Kalau bukan level manager ke atas ya orang asing. Merekalah yang mampu secara finansial menikmati semua fasilitas tersebut demi kenyamanan dan gaya hidupnya. Rakyat kecil yang miskin mungkin hanya bisa berjalan - jalan di sekitar kompleks tersebut tanpa bisa menikmati lebih banyak lagi.
Jika informasi yang ada di selebaran itu benar, maka ganti rugi yang diterima masyarakat tidak seimbang dengan nilai mega proyek yang sedang dikerjakan. Selebaran itu sepertinya dibuat oleh mereka yang peduli dan prihatin akan besarnya ganti rugi yang diterima masyarakat. Artikel yang disertakan dalam selebaran itu digunakan untuk memberi informasi agar masyarakat sadar siapakah sesungguhnya yang hendak membeli tanah yang mereka tempati. Sehingga, mereka menyadari hak mereka untuk mendapat ganti rugi yang layak. Jangan sampai sesudah mereka rela melepaskan tempat tinggal mereka, ternyata mereka tidak bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak. Sudah merupakan rahasia umum bahwa penggusuran seringkali melibatkan banyak kepentingan, mulai dari pengusaha, penguasa, pekerja sampai penduduk yang tanahnya digusur. Sehingga, persoalan penggusuran menjadi salah satu masalah sosial paling kompleks di negeri ini.
Satu hal yang seringkali terlupakan adalah bahwa orang-orang miskin juga manusia. Mereka berhak mendapat tempat tinggal yang layak dan berhak pula mendapat kesempatan untuk hidup layak. Mereka juga perlu makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Seharusnya, tidak boleh ada manusia yang tinggal di tempat yagn tidak layak ditempati sperti emperan toko, jembatan penyebarangan atau kolong jembatan. Rumah-rumah kumuh yang terletak di gang-gang sempit pun seharusnya tidak ada. Degnan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik dalam bentuk bahan tambang atau hasil pertanian, rakyat Indonesia seharusnya tidak ada yang miskin. "This country shouldn't be poor" begitu kata John Perkins dalam film dokumenter The New Rulers.
Modal utama untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia adalah adanya kemauan dan keberanian. HS Dillon pernah mengatakan "Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, kita tidak perlu mengemis hutang kepada IMF atau memerlukan bantuan dari lembaga asing.Jika 10% orang terkaya di Indonesia memberikan 20% penghasilannya (bukan harta atau asetnya) maka tidak ada lagi orang miskin di Indonesia pada tahun itu." (H.S. Dillon, KOMPAS; Selasa, 17 Oktober 2006). Sehingga, asalkan penduduk negeri ini, terutama yang kaya, tidak begitu serakah, maka kemiskinan akan dengan mudah teratasi. Minimal kaum miskin bisa bertahan hidup dan bisa memenuhi kebututan hidup mereka yang paling mendasar.
Namun sayang, peradaban kita sekarang ini adalah peradaban yang memanjakan yang kaya serta menindas yang miskin. Peradaban yang mengedepankan ego, kepentingan duniawi serta kekayaan materi. Bukan agama, spiritualitas dan kepedulian pada sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Sehingga, mimpi mewujudkan peradaban yang peduli, beradab dalam lindungan keridhoan Allah subhawataala masih jauh dari kenyataan.
Semgoa bermanfaat
Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Demi serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid
Samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain
Mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi
Angkuh tembok pabrik berdiri
Satu persatu sahabat pergi
Dan tak kan pernah kembali
Ujung Aspal Pondok Gede - Iwan Fals
4 komentar: