Dalam sebuah talkshow di stasiun TV Swasta, salah satu narasumber menyatakan bahwa demokrasi itu sangat mahal. Kita bisa bayangkan betapa besar biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kampanye seorang calon / kandidat yang hendak menduduki kursi kekuasaan, apakah itu legislatif, executive atau yang lainnya (jika ada). Apakah itu tingkat RT / RW, kabupaten, propinsi hingga negara. Entah berapa rim kertas habis hanya untuk mencetak poster dan pamflet berisi foto si calon beserta visi misinya serta hal-hal lain yang perlu disampaikan. Tidak cukup hanya di atas kertas, di TV dan radio pun iklan si calon juga muncul. Itu yang jujur saja sudah makan biaya yang luar biasa besarnya. Apalagi kalau sudah masuk ke wilayah abu-abu yang berpotensi melanggar ketetapan syariat seperti pembagian uang dan barang dengna tujuan meraih simpati, meningkatkan popularitas dan mempengaruhi rakyat untuk memberikan pilihan pada diri si calon. 
Namun yang seringkali kita saksikan sesudah pemimpin baru terpilih atau incumbent berkuasa kembali, tidak banyak perubahan yang kita saksikan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, persis seperti lirik lagu.
Satu hal yang mugnkin dilupakan banyak orang adalah bahwa demokrasi memang hanya mementingkan kuantitas dan bukan kualitas. Di kertas suara yang sudah dicontreng atau dicoblos, kita tidak bisa menentukan seberapa tinggi tingkat pendidikan yabng memilih. Apakah dia adalah seorang profesor doktor dengan wawasan yang luas dan ilmu yang dalam atau orang sekelas hanya preman pasar yang gak tahu apa-apa soal politik negeri ini. Apakah dia seorang yang sudah lulus S3 alias doktor atau S3 yang satu lagi, yaitu SD - SMP - SMA. Apakah dia seorang dewasa yang bisa mengendalikan emosi atau ABG labil yang masih mudah dipengaruhi orang lain, apalagi tokoh2 idola yang lagi ngentrend macam girls band atau boys band itu. Masih banyak kemungkinan lain.
Sehingga, untuk memperkenalkan dan mempromosika partai atau calon yang diusung dan digadang-gadang, tim sukses harus menyesuaikan dengan bahasa yang dimengerti banyak orang. Talkshow di TV mungkin efektif buat yang melek politik dan ekonomi, tapi untuk rakyat miskin tentu dangdutan lebih bisa diterima. Urusan yang nyanyi dangdut berpakaian ketat, mengumbar aurat atau berdandan menor itu urusan lain. Apalagi untuk kalangan ABG labil, hadiah tiket gratis nonton boyband asal luar negeri tentu lebih disukai daripada diskusi tentang bagaimana si calon kalau udah kepilih nantinya.
Sedikit ilustrasi di atas tentu sudah cukup untuk memberi gambaran bagi kita betapa mahalnya harga sebuah sistem bernama Demokrasi. Lalu, darimana duit untuk meng-cover semua itu? Kurang tahu juga sih, mungkin dari KORUPSI atau dari pengusaha-pengusaha yang berkolusi dengan pihak-pihak berkuasa atau dengan para kandidat yang sudah punya persetujuan sebelumnya. Darimanapun asalanya, tetap saja tidak membuat harga yang harus dibayar untuk menjalankan demokrasi jadi murah. Dan yang jadi korbannya siapa lagi kalau bukan rakyat miskin, lagi lagi rakyat miskin.
Memang, apapun yang berasal dari peradaban Barat memang mahal. Tidak mengherankan jika negara dunia ketiga yang latah mengikuti Barat tertatih tatih bagai orang yang sudah terluka kakinya tapi dipaksa terus berlari. Rakyat makin lama makin miskin, hanya dibelai sesekali dengan BLT atau dihibur dengan pertunjukan monkey politic alias politik Topeng Monyet yang terus ditayangkan di TV.
Akhrinya, yang bisa saya ingat adalah tulisan dari guru saya, ustadz Ahmad SArwat Lc yang membandingkan antara pesta demokrasi dengan permainan anak-anak jaman dulu, yaitu hompimpa. Biar sajalah para calon yang bersaing itu saling berhompimpa dan yang menang biar saja memimpin. Toh kurang lebih sama saja kan, dipilih mayoritas rakyat yang gak kenal sama pemimpinnya sama dipilih dengan metode hompimpa tadi?
Semoga bermanfaat, mohon maaf untuk yang kurang berkenan

Namun yang seringkali kita saksikan sesudah pemimpin baru terpilih atau incumbent berkuasa kembali, tidak banyak perubahan yang kita saksikan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, persis seperti lirik lagu.

Satu hal yang mugnkin dilupakan banyak orang adalah bahwa demokrasi memang hanya mementingkan kuantitas dan bukan kualitas. Di kertas suara yang sudah dicontreng atau dicoblos, kita tidak bisa menentukan seberapa tinggi tingkat pendidikan yabng memilih. Apakah dia adalah seorang profesor doktor dengan wawasan yang luas dan ilmu yang dalam atau orang sekelas hanya preman pasar yang gak tahu apa-apa soal politik negeri ini. Apakah dia seorang yang sudah lulus S3 alias doktor atau S3 yang satu lagi, yaitu SD - SMP - SMA. Apakah dia seorang dewasa yang bisa mengendalikan emosi atau ABG labil yang masih mudah dipengaruhi orang lain, apalagi tokoh2 idola yang lagi ngentrend macam girls band atau boys band itu. Masih banyak kemungkinan lain.

Sehingga, untuk memperkenalkan dan mempromosika partai atau calon yang diusung dan digadang-gadang, tim sukses harus menyesuaikan dengan bahasa yang dimengerti banyak orang. Talkshow di TV mungkin efektif buat yang melek politik dan ekonomi, tapi untuk rakyat miskin tentu dangdutan lebih bisa diterima. Urusan yang nyanyi dangdut berpakaian ketat, mengumbar aurat atau berdandan menor itu urusan lain. Apalagi untuk kalangan ABG labil, hadiah tiket gratis nonton boyband asal luar negeri tentu lebih disukai daripada diskusi tentang bagaimana si calon kalau udah kepilih nantinya.
Sedikit ilustrasi di atas tentu sudah cukup untuk memberi gambaran bagi kita betapa mahalnya harga sebuah sistem bernama Demokrasi. Lalu, darimana duit untuk meng-cover semua itu? Kurang tahu juga sih, mungkin dari KORUPSI atau dari pengusaha-pengusaha yang berkolusi dengan pihak-pihak berkuasa atau dengan para kandidat yang sudah punya persetujuan sebelumnya. Darimanapun asalanya, tetap saja tidak membuat harga yang harus dibayar untuk menjalankan demokrasi jadi murah. Dan yang jadi korbannya siapa lagi kalau bukan rakyat miskin, lagi lagi rakyat miskin.
Memang, apapun yang berasal dari peradaban Barat memang mahal. Tidak mengherankan jika negara dunia ketiga yang latah mengikuti Barat tertatih tatih bagai orang yang sudah terluka kakinya tapi dipaksa terus berlari. Rakyat makin lama makin miskin, hanya dibelai sesekali dengan BLT atau dihibur dengan pertunjukan monkey politic alias politik Topeng Monyet yang terus ditayangkan di TV.
Akhrinya, yang bisa saya ingat adalah tulisan dari guru saya, ustadz Ahmad SArwat Lc yang membandingkan antara pesta demokrasi dengan permainan anak-anak jaman dulu, yaitu hompimpa. Biar sajalah para calon yang bersaing itu saling berhompimpa dan yang menang biar saja memimpin. Toh kurang lebih sama saja kan, dipilih mayoritas rakyat yang gak kenal sama pemimpinnya sama dipilih dengan metode hompimpa tadi?
Semoga bermanfaat, mohon maaf untuk yang kurang berkenan
3 komentar: