Minggu, 06 Desember 2009

[Creative Non Fiction] Pak Tua pemungut sampah

Sore itu jalan di kawasan Rasuna Said terlihat agak lengang.  Hari libur membuat jalanan tidak terlalu dipadati kendaraan, tidak seperti hari-hari kerja.  

Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tersebut.  Langkahku lesu tak bersemangat, dibebani oleh kantong yang hanya terisi sedikit uang.  Yah, uang memang sudah jadi raja saat ini.  Walaupun bukan segala-galanya, namun segala-galanya perlu uang saat ini.  Inilah uniknya kantong, makin sedikit isinya ........ malah makin berat bebannya.

Tiba-tiba mataku bertatapan langsung dengan seorang bapak tua. 

Di tangan kanannya ada sebatang kayu pendek yang dilengkapi besi yang melengkung.  sementara di pundak kirinya, ia memanggul sebuah kantong sampah besar berwarna hitam.  Hitam ...... mungkin sehitam suasana hatinya.

Dia mendekatiku perlahan, dan kuulurkan uang ala kadarnya kepadanya.  Dia lalu bercerita kepadaku, dengan suara yang tidak jelas dan terbata-bata.  Kepedihan tak terkira tergambar di wajahnya.  

"Tuan, ........ minta uang untuk berobat.  kaki perlu diinjek (mungkin maksudnya disuntik) .... uang dari mana tuan?" katanya terbata-bata dibebani emosi yang bergejolak.  Dia lalu memperlihatkan isi kantongnya.  Penuh sampah hasil limbah peradaban moderen seperti gelas pelastik, botol, bungkus rokok dan sebagainya. Peradaban kapitalistik yang memanjakan segelintir mereka punya uang.  Peradaban yang sama, yang menindas dengan kejam orang-orang tersingkirkan, termasuk si bapak yang kutemui saat itu.  

Dia lalu memperlihatkan kepadaku kakinya yang dibalut kain.  Terlihat kain itu tidak lagi steril, lebih mirip baju yang sudah lama tidak dicuci.  "Kata dokter harus dibelek (dioperasi mungkin), ntar gak usah bayar, uang buat obat aja" ceritanya.  "uang dari mana tuan ........" katanya terisak, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.  Jika si pendengar masih punya hati yang hidup tentunya.  Yang masih bisa berempati pada sesama manusia, apalagi mereka yang menderita.  

Aku tak kuasa mendengar cerita itu.  Kepedihan hatiku tidak bisa membantu si bapak mungkin tidak seberapa dibandingkan penderitaannya.  Kembali kubuka tas kecilku, pemberian dari sebuah perusahaan pertambangan ternama pada acara Volunteer Gathering yang pernah kuhadiri.  Kuambil lagi sejumlah kecil uang, yang kupunya, kepada si bapak.  Wajah si bapak terlihat lebih baik, walaupun belum cerah.  Dia lalu pergi degan tertatih-tatih, ditopang oleh kedua kakinya.  Kaki yang sebelah sakit dan belum sembuh.  Mungkin tidak akan pernah sembuh.  

Kelelahan dan kelesuanku lenyap sudah.  berganti penyesalan akan betapa lemahnya jiwa ini.  Patah hati yang kualami sesunggunya tidaklah seberapa sakit dibandingkan penderitaan si bapak tua itu.  Tetapi, mengapa begitu mudahnya aku terpukul oleh penolakan gadis yang kuharapkan jadi kekasihku itu? Sungguh suatu kekufuran akan nikmat yang luar biasa.  Semoga Allah SWT masih berkenan mengampuni pengingkaranku tersebut.    

Semoga si bapak diberi ketabahan, dan jikapun kematian datang menjemputnya, itu adalah tanda kasih sayang dari Allah SWT untuk beliau.  Agar mendapat tempat yang layak di sisiNya.  

Kemiskinan memang masih merupakan penyakit kronis yang melanda masyarakat negeri ini.  Negeri yang begitu memanjakan mereka yang kaya raya dan menindas tanpa ampun orang-orang tak berduit.  Seperti bapak tua yang kutemui sore itu.  


5 komentar: