Selasa, 25 Mei 2010

Berjihad dengan Harta

Malam makin larut di suatu kota di Mesir. Seorang pemuda sedang menunggu taksi di tepi jalan. Pemuda ini bekerja di sebuah perusahaan milik orang Yahudi. Dia seringkali heran dengan para pemilik perusahaan tersebut, karena kerugian beberapa ratus dollar saja sudah cukup membuat mereka paranoid ketakutan hingga kalang kabut.

Tidak berapa lama, datanglah sebuah taksi. Pemuda itu memanggil taksi tersebut dan masuk. Karena perjalanan cukup jauh, dia mengajak si supir taksi mengobrol. Obrolan pun berlanjut sampai si supir taksi menceritakan bahwa dia bekerja di restoran dari pagi sampai petang. "Brother, sedemikian sulitkah kehidupan di sini, sehingga kamu harus bekerja dua kali sebagai pelayan restoran dan supir taksi" kata si pemuda keheranan. Sang supir taksi tersenyum dan berkata "Tidak brother, penghasilan saya sebagai seorang pelayan restoran sudah cukup menghidupi keluargaku". Pemuda itu keheranan dan berkata "lalu mengapa kamu harus bekerja lagi sebagai supir taksi?". Si supir taksi menjawab "aku ingin bisa bersedekah". Pemuda itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia sangat kagum dan takjub pada supir taksi di sebelahnya. Insya Allah, apa yang dilakukan si supir taksi itu sudah bisa dikategorikan sebagai jihad harta.

Harta adalah sarana bagi kehidupan kita. Harta harus dicari dengan jalan yang halal sesuai syariat dan diridhoi Allah SWT. Harta tidak boleh hanya disimpan di gudang seperti Qarun. Namun, harta itu harus mengalir dengan baik agar semua manusia merasakan manfaatnya. Biasanya, pengeluaran harta adalah untuk memenuhi dua hal, kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan dapat diperhitungkan secara rasional namun selera dan keinginan cenderung emosional bahkan kompulsif. Terkadang orang bahkan menghalalkan segala cara untuk memperturutkan keinginan yang tidak terbatas itu.

Pengeluaran harta dapat dinilai sebagai amal shaleh atau jihad. Apabila kita mengeluarkan harta ala kadarnya untuk bersedekah, maka hal itu tentu dinilai sebagai amal sholeh. Kebaikan sebesar butiran atom pun akan diperhitungkan oleh Allah SWT di Yaumil Hisab nanti. Namun, sering kali kemampuan kita untuk menyedekahkan harta terhalang oleh keinginan-keinginan yang menuntut untuk segera dipuaskan. Sehingga, lebih banyak harta kita gunakan untuk memperturutkan hobby dan keinginan kita daripada untuk dinafkahkan di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Sehingga tidak mengherankan apabila seorang cendekiawan muslim Palestina, ketua Rabithah Alam Islami di Suriah, bernama DR. Nawwaf Takruri mengatakan bahwa memperioritaskan penggunaan harta untuk perjuangan di jalan Allah SWT sudah bernilai jihad, bukan lagi sekedar amal. Mengeluarkan harta lebih banyak sehingga mengurangi kemampuan kita untuk memperturutkan keinginan memerlukan Mujahadah. Mujahadah adalah jihad melawan keinginan hawa nafsu diri sendiri. Agar pengeluaran itu efektif, diperlukan ijtihad, baik pribadi ataupun kolektif, untuk menentukan tujuan dan strategi pengeluaran harta tersebut. Sehingga, dengan ditambah ridho dan keberkahan dari Allah SWT, banyak orang akan memperoleh manfaat dari harta tersebut.

Jihad adalah mengeluarkan segenap kemampuan untuk berjuang meraih keridhoan Allah SWT. Jihad harus dilengkapi dengan ijtihad dan mujahadah. Apabila tidak, hampir tidak ada bedanya jihad dengan kekerasan yang serampangan. Ali bin Abi Thalib memberi contoh mujahadah, saat beliau tidak jadi membunuh musuh karena mukanya diludahi. Ali khawatir pembunuhan terhadap musuh yang dia lakukan tidak lagi bermotif jihad di jalan Allah SWT. Melainkan sudah bermotif amarah atau bahkan balas dendam. Dalam film Enter The Dragon, Bruce Lee menasihati seorang muridnya saat latihan. "I said Emotional Content, not Anger" kata sang Master. Maksudnya adalah, gunakan pikiranmu untuk mengarahkan kekuatan dan kandungan emosimu ke arah yang tepat. Jihad, ijtihad dan mujahadah tidak akan pernah terpisahkan.

Sebaliknya, apabila harta dipergunakan dengan serampangan tanpa perhitungan, maka yang terjadi adalah pemborosan. Seorang ulama mendefinisikan pemborosan sebagai pengeluaran harta di jalan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Walaupun hanya satu rupiah, pengeluaran bukan di jalan Allah SWT termasuk pemborosan. Bahkan, pemanfaatan harta tanpa perhitungan yang matang justru akan menambah dosa dan kemaksiatan yang akan menjadi beban di Yaumul Hisab nanti. . Mungkin kita masih ingat pada buku jakarta Undercover yang ditulis seorang mantan santri. Buku itu berisi tempat-tempat wisata sex yang ada di Jakarta, kota kita tercinta ini. Hampir-hampir tidak bisa dipercaya bahwa di Jakarta, Ibu kota Republik Indonesia, negara dengan jumlah ummat Islam terbanyak di seluruh dunia, ada tempat-tempat pelesiran sex seperti itu.

Bayangkan, bagaimana perasaan orang-orang miskin tersebut saat ada orang yang berkata "Ibu-ibu, Bapak-bapak sekalian, maaf saya belum bisa membantu meringankan beban penderitaan anda sekalian. Kami ingin terlebih dahulu memuaskan hawa nafsu kami untuk bermewah-mewah. Kami ingin merayakan terlebih dahulu ulang tahun anak-anak kami atau pernikahan kami dengan pesta-pesta yang megah terlebih dahulu. Ibu bapak sekalian bersabar dulu saja ya. Kalau ada yang sampai mati karena kelaparan atau sakit, yah anggap saja sudah waktunya".

Tentu saja tidak ada orang yang cukup sinting untuk mengatakan kata-kata menyakitkan itu tepat di muka orang-orang miskin, jika tidak mau kehilangan nyawa.

Namun, kata-kata seperti itu seakan-akan diucapkan melalui kemewahan biasa yang dipertontonkan orang-orang kaya, baik secara langsung atau melalui saluran penyedia informasi seperti TV atau internet. Gedung-gedung tinggi menjulang angkuh sementara disekitarnya orang-orang miskin melihat dengan pandangan mata nanar sampai menahan lapar melihat orang-orang kaya berlalu lalang dengan atau tanpa sadar memamerkan kemewahan yang mereka miliki.

Ironisnya, musuh-musuh Islam, terutama kalangan Yahudi, justru mengamalkan jihad harta ini demi kepentingan eksistensi mereka. Suatu ketika ada seseorang bertamu ke rumah orang Yahudi. Si tuan rumah menyuguhkan teh kepada si tamu. Dia memberi dua batang gula pada teh untuk si tamu sedangkan dia sendiri minum teh tanpa gula. Si tamu heran dan bertanya "mengapa anda tidak minum teh anda dengan gula?". Si Yahudi menjawab, "kami sekeluarga ada 4 orang dan masing-masing dari kami minum teh dua kali sehari". "Apabila masing-masing kami menghemat dua batang gula setiap hari, maka kami akan mengumpulkan cukup banyak harta untuk disumbangkan pada perjuangan saudara-saudara kami di Israel" tambah si Yahudi.

Memberikan harta kepada mereka yang membutuhkan adalah ciri orang yang beriman dan bertaqwa. Orang-orang yang beriman bermujahadah sebelum dan sesudah memperoleh harta. Mereka menggunakan kemampuan terbaik mereka untuk memperoleh harta, namun mereka sama sekali tidak merasa memiliki harta tersebut. Mereka mengendalikan keinginan untuk menggunakan hartanya dan menganggap harta itu sebagai amanah yang harus ditunaikan sesuai keinginan yang menitipkan amanah tersebut. Tidak lebih dari itu.

Then said a rich man, "Speak to us of Giving."
And he answered:
You give but little when you give of your possessions.
It is when you give of yourself that you truly give.
For what are your possessions but things you keep and guard for fear you may need them tomorrow?
And tomorrow, what shall tomorrow bring to the over prudent dog burying bones in the trackless sand as he follows the pilgrims to the holy city?
And what is fear of need but need itself?
Is not dread of thirst when your well is full, thirst that is unquenchable?

On Giving

By Kahlil Gibran in The Prophet


Semoga bermanfaat

terinspirasi dari buku Dahsyatnya Jihad Harta

Jumat, 21 Mei 2010

Sang Raja Lautan yang dibantai karena keserakahan

Deburan ombak seakan memecah kesunyian lautan. Para nelayan seakan tidak memperdulikan deburan ombak tersebut, mereka terus saja bekerja. Namun, yang mereka tangkap bukanlah ikan-ikan biasa. Yang menjadi incaran mereka adalah ikan-ikan yang telah berpuluh bahkan beratus tahun menjadi teror di lautan. Baik dalam kenyataan atau dalam film-film, yaitu ikan hiu. Bagian dari ikan hiu yang mereka akan ambil adalah siripnya. Terkadang bagian yang lain masih diolah namun lebih sering tidak. Daging ikan hiu tidaklah enak untuk dimakan dan sedikit yang mau bersusah payah mengolah daging itu menjadi ikan asin. Tanpa sirip, ikan hiu persis petarung yang sudah dipotong kedua tangan dan kakinya. Jangankan untuk merajai lautan, untuk berenang saja sudah tidak mampu. Ikan hiu harus terus bergerak untuk bisa bernafas dengan insangnya dan dia tidak akan bisa berenang tanpa sirip-sirip itu. Kehidupan Sang Raja Laut pun berakhir tragis menjadi onggokan bangkai.

Sirip-sirip hiu tersebut dijual dengan harga yang fantastis. Sirip dengan kualitas tertinggi dijual 10 juta rupiah per kilo, sementara yang kualitasnya rendah dijual 2 juta rupiah per kilo. Tidak mengherankan banyak orang yang tergiur akan besarnya keuntungan yang bisa diperoleh dari sirip-sirip tersebut. Konon, sirip-sirip itu dipercaya bisa membuat orang yang memakannya senantiasa sehat dan panjang umur. Sirip-sirip itu juga banyak yang diekspor ke negara-negara yang banyak mafia dan gangsternya.

Kalau harus bayar 10 juta rupiah per kilogram, mungkin koruptor pun harus berpikir 10 ribu kali sebelum merogoh koceknya. Yang tidak ragu untuk membayar sebanyak itu tentunya para gangster dan mafia yang sangat percaya pada mitos. Keinginan untuk hidup selama mungkin dan ketakutan pada kematian menyebabkan orang-orang itu mencari obat panjang umur. Terkadang, mereka mencari obat-obatan yang secara medis masih diragukan seperti tulang harimau, cula badak dan sebagainya. Mereka adalah para gangster yang bisnisnya perjudian skala besar, pelacuran antar negara, narkotika dan obat terlarang dan sebagainya. Bahkan mungkin juga ada yang berbisnis pembunuh bayaran. Setiap hari, mungkin setiap jam, uang panas dan haram itu mengalir deras ke dalam pundi-pundi mereka.

Sudah menjadi fitrah bagi manusia apabila berbuat jahat maka dia tidak akan merasakan ketenangan hakiki. Apalagi apabila makanan yang dia konsumsi sehari-hari terdiri dari barang-barang haram dan mendapatkannya juga dengan uang haram. Hidup orang itu akan dipenuhi kepura-puraan, kehinaan dan ketakutan walaupun dari luar banyak orang mengaguminya. Dalam keadaan seperti itu, banyak orang mencari perlindungan kepada berbagai hal seperti jimat, takhayul dan sebagainya. Termasuk mencari obat-obatan tertentu yang dipercaya bisa membuat panjang umur tanpa harus menjaga kesehatan dan tanpa perlu meninggalkan bisnis haram.

Kejahatan cepat atau lambat akan menghasilkan kejahatan berikutnya yang seringkali lebih besar. Rasulullah mengajarkan kita bahwa orang yang memulai suatu kejahatan akan menerima pembalasan dosa kejahatan tersebut dan dosa dari kejahatan orang-orang yang mengikutinya. Sementara, para pengikut orang yang memulai itu juga akan menerima dosa yang sama, apalagi kalau mereka diikuti orang lain. Sementara itu, kerusakan demi kerusakan terus terjadi. Kerusakan yang terjadi antara lain kerusakan lingkungan dan biota laut seperti berkurangnya populasi ikan hiu. Ikan hiu adalah predator natural yang menjaga keseimbangan rantai makanan di lautan. Pemburuan besar-besar ikan hiu dan predator natural lainnya akan menyebabkan jumlah mereka berkurang atau bahkan punah. Bila tidak ada predator, maka populasi ikan dan binatang yang menjadi makanan para predator itu akan membengkak. Jumlah populasi mangsa yang terlalu besar itu akan menyebabkan lingkungan tidak lagi mampu mendukung kehidupan mereka. Yang tidak kalah mengerikan adalah kerusakan sosial dan moral seperti kemiskinan, pelacuran, judi, kejahatan terorganisir seper mafia dan gangster dan lain sebagainya. Karena itulah, amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk/jahat) menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam ajaran Islam. Berdiam diri saat ada kejahatan yang sedang terjadi adalah juga merupakan kejahatan.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.

(Riwayat Muslim)

Inspired by: tayangan dokumenter Elshinta TV

komik silat Tony Wong: Long Hu Men (Perguruan Naga Harimau)

Semoga bermanfaat

Rabu, 19 Mei 2010

[Sosial] Para penambang bukit kapur yang harus bertaruh nyawa

Terik mentari seakan terpantulkan pada bongkahan batu-batu gamping yang berwarna putih itu.  Para pekerja dengan perlengkapan seadanya terus bekerja menggali bongkahan-bongkahan tersebut. Mereka mengumpulkan batu-batu yang sudah dipecahkan dengan perkakas dan bahan peledak sederhana hasil racikan mereka sendiri.  Sesudah diolah dengan cara dibakar, batu-batu itupun dibawa dengan truk-truk yang sudah sangat tua.  Model bagian depan truk yang masih berhidung mancung itu seakan menyiratkan masa yang lampau.  

Suasana di sana seakan-akan membawa kita ke dalam film-film fantasy masa lalu seperti film Conan the Barbarian dan sebagainya.  Namun, yang ada di sana bukanlah para ksatria berotot kekar dengan pedang tajam, kuda-kuda yang berlari melintasi pegunungan berdebu, putri raja nan cantik, monster atau penyihir jahat.   Melainkan para pekerja yang berjuang menghidupi diri dan keluarganya dengan upah yang hampir-hampir tidak bisa mengejar harga kebutuhan pokok.  Para pekerja dengan perlengkapan seadanya terus bekerja menggali bongkahan-bongkahan tersebut. Mereka mengumpulkan batu-batu yang sudah dipecahkan dengan perkakas dan bahan peledak sederhana hasil racikan mereka sendiri.  Sesudah diolah dengan cara dibakar, batu-batu itupun dibawa dengan truk-truk yang sudah sangat tua.  Model bagian depan truk yang masih berhidung mancung itu seakan menyiratkan masa-masa yang lampau, saat truk-truk seperti itu merajai jalanan.   

Belum lagi resiko kecelakaan, cacat tubuh atau bahkan kematian.  Maklum, ledakan dari bahan peledak yang mereka gunakan untuk memecah batu gamping juga menghasilkan kepulan asap dan serpihan debu yang membahayakan kesehatan, terutama pernafasan dan mata.  Para pekerja yang sudah membanting tulang memeras keringat seakan hanya mendapatkan upah sekadarnya.  Mereka hanya dibayar beberapa belas sampai beberapa puluh ribu rupiah setiap hari.  Pekerjaan penuh resiko itu mereka jalani tanpa jaminan kesehatan ataupun keselamatan yang seharusnya mereka dapatkan.  Mereka juga tidak mengenakan perlengkapan keamanan dan keselamatan seperti helm, kacamata pelindung atau sepatu boot.  Perlengkapan yang sebenarnya dibutuhkan untuk bekerja di daerah seperti itu.  Tidak ada jaminan kesehatan dan keselamatan bagi mereka dalam bekerja.  Korban di kalangan para pekerja itu sudah banyak pula yang berjatuhan, baik cacat, sakit ataupun meninggal dunia.    

Padahal, batu-batu gamping hasil jerih payah mereka dinikmati oleh banyak orang, termasuk orang-orang kaya di berbagai kota di negeri ini.  Batu kapur tak hanya dimanfaatkan untuk campuran bahan bangunan semata, juga dimanfaatkan untuk industri besi baja, bahan pembuat karbit, penetralisir limbah industri besi baja, bahan pembuat karbit, hingga untuk bahan dasar proses pemutihan gula.  Pagar-pagar besi rumah orang-orang kaya, yang dibuat untuk melindungi diri dan harta benda dan menegaskan status sosial mereka, dilas dengan karbit yang dibuat dengan batu2 tersebut.  

Tayangan dokumenter dari sebuah televisi swasta tentang para penambang batu gamping itu mengingatkan saya pada saat bekerja di Bandung beberapa waktu yang lalu.  Pada saat bepergian dari Bandung ke Puncak lewat Cianjur dan sebaliknya, saya seringkali melewati daerah Padalarang.  Salah satu tempat yang sering saya lewati adalah pertambangan batu gamping seperti dalam tulisan di atas.  Namun, saat itu saya belum mengetahui kehidupan para penambang batu itu yang sesungguhnya.   

Terkadang begitu mudah bagi kita untuk melupakan dan mengabaikan orang-orang yang berjasa dalam kehidupan kita.  Mereka telah bekerja keras membanting tulang untuk menyediakan bahan-bahan yang untuk membuat hidup kita lebih nyaman dan aman. KH Toto Tasmara, dalam salah satu ceramah beliau di sebuah radio swasta pernah mengatakan "Jika rumah yang kita tempati bocor atapnya dan air hujanpun merembes masuk, kepada siapa kita minta pertolongan.  Apakah kepada pak Dokter yang biasa memeriksa apabila ada anggota keluarga sakit, apakah kepada pak Direktur Utama yang gajinya puluhan juta sebulan atau saudara kita yang kaya raya? Tentu saja tidak, kita tentu akan minta tolong pada tukang bangunan yang tinggal di kontrakan petak, yang biasa memperbaiki rumah kita dengan tangan trampilnya".

Maka sungguh kita dianggap dan dibilang orang kaya karena ada orang-orang miskin di sekitar kita.  Lebih dari itu, hidup kita sebagai orang yang kaya menjadi lebih nyaman dengan keberadaan dan pertolongan mereka.  Namun, jarang sekali kalau boleh dibilang hampir tidak pernah kita berterima kasih dengan tulus pada mereka dan berinteraksi lebih dalam, berusaha mengetahui dan memahami apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.  Jika jiwa kita masih memiliki kehidupan, yang menyebabkan jiwa itu peka pada penderitaan sesama, kita akan merasa berdosa apabila menghabiskan uang dan harta kita hanya untuk kesenangan pribadi.  Walaupun semua itu kita peroleh dengan kerja keras yang halal, namun hakikatnya semua itu merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT.

Semoga bermanfaat

Referensi:

Penambang Bukit Kapur : Bertaruh Nyawa Kejar Rupiah

Bertarung Nyawa di Bukit Kapur

Rabu, 05 Mei 2010

Sosial] Motor besar dengan konsekwensi besar

harley Davidson

siapa yang tidak kenal merek motor itu? Walaupun di Indonesia relatif jarang, namun sempat membuat heboh karena motor jenis itu ada yang menjadi upeti dari seorang petugas kepada petugas lainnya.

Saya masih bisa mengingat betapa nge-fans-nya saya pada motor jenis itu.  Setiap kali mau ke daerah Bogor lewat pasar Minggu, saya sudah pasang kuda-kuda di bis metro mini untuk melihat motor jenis itu di sebuah bengkel dalam perjalanan ke pasar minggu.  Terkadang, motor itu saya gambar di whiteboard, walaupun tentu saja sebatas ilustrasi sketsa.  Suatu keingian yang lebih merupakan dorongan eksternal dibandingkan dengan motivasi internal.  Seiring perjalan waktu, keinginan saya untuk memiliki motor besar itu mulai memudar.  Pergaulan dengan teman-teman relawan membuat mata hati saya terbuka akan penderitaan masyarakat di sekitar kehidupan saya.  

Motor besar memang bisa jadi salah satu simbol kegagahan dan keperkasaan, terutama buat kaum Adam.  Dalam iklan-iklan produk jeans, rokok dan sebagainya, bintang iklannya seringkali berpose atau mengendarai motor besar.  Di film-film, motor seperti itu identik dengan kebebasan, bebas lepas menjelajahi benua Amerika nan luas melalui jalan-jalan yang panjang seakan tak berujung.  Dengan tubuh kekar penuh tato, kacamata hitam dan tanpa helm serta aksesoris khas penggemar HD lainnya.  

Mungkin masih terekam dalam ingatan kita serombongan motor besar yang mampir di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar.  Mereka menguras BBM bersubsidi dan menyebabkan banyak pengguna kendaraan yang lain tidak kebagian.  Sehingga banyak pihak yang menganggap hal itu sebagai perampokan BBM bersubsidi.  Kalau mampu beli dan mengendarai motor besar, BBM-nya jangan yang bersubsidi dong, mungkin itu yang ada di benak banyak orang.  Belum lagi berita yang masih cukup hangat betapa motor besar merek HD itu menjadi semacam upeti untuk oknum aparat penegak hukum dari orang yang menggelapkan uang pajak yang dibayar rakyat.  Uang pajak yang dibayarkan dengan suka rela dari tetesan keringat, cucuran air mata dan darah dari rakyat yang bekerja keras dengan cara yang halal dan Insya Allah diridhoi oleh Allah SWT.  Mereka membayar pajak dengan harapan uang itu akan berguna bagi para pembarayarnya.  Namun, uang itu hanya berakhir menjadi gaya hidup mewah para aparat, termasuk motor besar boros bensin itu tadi.

Peradaban yang kalah memang cenderung menyerap simbol-simbol dari peradaban yang menang dan menguasainya.  Dahulu, ketika peradaban Islam dominan di bumi Spanyol, banyak masyarakat non muslim yang meniru gaya hidup orang-orang Islam.  Para perempuan non muslim banyak yang mengenakan busana yang menutup aurat seperti kerudung.  Orang-orang Eropa yang terpengaruh budaya Islam juga ikut menjaga kebersihan, salah satunya dengan cara membersihkan diri dengan air dan sabun.   Namun, saat Barat menguasai panggung kehidupan dunia, masyarakat dunia cenderung meniru dan menyamakan gaya hidup dan budaya mereka dengan peradaban Barat.  Seberapapun mahal harga yang harus dibayar, termasuk korupsi dan penyelewangan amanah atau penggelapan harta.  Tidak peduli betapa banyak saudara seagama, sebangsa setanah air atau sesama manusia yang akan menderita, terdzalimi dan kehilangan hak-haknya.  

Sebagaimana yang pernah saya sampaikan pada siaran KaZI di Radio Islam Sabili beberapa waktu yang lalu, gaya hidup barat adalah gaya hidup yang sangat mahal.  Gaya hidup yang harus dibayar dengan ketimpangan sosial yang akhirnya memperlebar jarak antara orang kaya dan orang miskin.  Gaya hidup yang memanjakan segelintir orang-orang berduit namun menindas mereka yang lain.  Salah satunya adalah dengan motor besar itu tadi.  Revolusi Prancis adalah salah satu konsekwensi mengerikan yang harus dibayar atas ketimpangan sosial tersebut.  

Namun, sejarah menunjukkan bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah.  Mereka menghafal tahuh-tahun  terjadinya peristiwa penting, yang banyak diantaranya adalah peristiwa-peristiwa berdarah.  Mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah.  Tetapi mereka jarang sekali, kalau tidak mau mengatakan tidak pernah, mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah.  Oleh karena itu George Santayana, seorang filsuf, pernah berkata: "Those who forget the past are condemned to repeat it" (mereka yang melupakan sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya).   

Barang-barang mahal, termasuk motor besar, memang bisa menjadi simbol status sosial pemiliknya.  Namun, apabila harta tersebut didapat dengan jalan yang tidak halal dan merugikan orang lain, hakikatnya semua itu adalah harta rampokan dari rakyat yang miskin dan tidak berdaya.  Rakyat yang hasil kerja kerasnya tidak bisa mereka nikmati di dunia ini bahkan untuk sekedar mengganjal perutnya yang lapar.  

Getaran-getaran jerit rintih mereka yang miskin dan menderita mungkin terlalu lemah untuk bisa didengar oleh banyak manusia yang terlena oleh kehidupan moderen, oleh yang senantiasa dibanjiri berbagai macam hiburan dan terlena manisnya teknologi.  

Namun, ....... getaran-getaran energi yang lemah itu cepat atau lambat akan mampu mengetuk dan menembus pintu-pintu lagi, dan hanya tinggal masalah waktu saja bagi Allah Al Latif, Allah SWT Yang Maha Lembut, .....................   

.....................  yang mampu menangkap getaran kepedihan betapapun halusnya

.....................  yang pada akhir memberi balasan yang seadil-adilnya bagi semua manusia

"A laisallahu bi ahkamil haakimiin"
"Bukankah Allah seadil-adilnya hakim?"
(Qs. At Thiin 8)

Semoga bermanfaat

Minggu, 02 Mei 2010

[Renungan Cinta] Transendensi kreatif dalam cinta

    Apakah ada bedanya hanya diam menunggu
    dengan memburu bayang-bayang? Sama-sama kosong
    Kucoba tuang ke dalam kanvas
    dengan garis dan warna-warni yang aku rindui

    Apakah ada bedanya bila mata terpejam?
    Fikiran jauh mengembara, menembus batas langit
    Cintamu telah membakar jiwaku
    Harum aroma tubuhmu menyumbat kepala dan fikiranku

    Di bumi yang berputar pasti ada gejolak
    Ikuti saja iramanya, isi dengan rasa
    Di menara langit halilintar bersabung
    Aku merasa tak terlindung, terbakar kegetiran
    Cinta yang kuberi sepenuh hatiku
    Entah yang kuterima aku tak peduli,
    aku tak peduli, aku tak peduli

    Apakah ada bedanya ketika kita bertemu
    dengan saat kita berpisah? Sama-sama nikmat
    Tinggal bagaimana kita menghayati
    di belahan jiwa yang mana kita sembunyikan
    dada yang terluka, duka yang tersayat, rasa yang terluka


Sahabat,

pernahkah engkau terluka oleh cinta
terluka oleh sesuatu yang lebih indah daripada terbitnya mentari pagi
namun lebih mengerikan dari letusan gunung berapi

Cinta, dia memang unik, memang aneh
lebih halus dan lembut daripada sutera
namun lebih kuat dan lebih keras daripada baja

Rasa cinta adalah energi yang dahsyat.  Kehampaan jiwa adalah suatu yang tidak bisa dihindari saat tiada bersama dengan yang dicintai.  Cinta bagaikan pemantik api yang menyalakan bahan bakar kreatifitas.  Ratusan ribu bahkan jutaan judul lagu dan bait puisi tercipta karena cinta.  Buku-buku sarat makna terlahir dari tangan para penulis yang jiwanya terbakar api cinta. Namun, entah berapa banyak pula perang dan konflik tercipta karena cinta.  Baik cinta antar anak manusia ataupun cinta pada negara dan bangsa.  

Sesungguhnya, rasa sakit karena luka itu adalah pertanda akan kebutuhanmu akan transendensi.  Transendensi berarti melampaui status makhluk ciptaan yang pasif dan secara kreatif mengatasi permasalahan yang dihadapi, termasuk kegagalan cinta tersebut.  (Erich Fromm, The Sane Society, 1955 page 41) Rasa sakit itu akan tetap menyiksa sampai kebutuhan itu terpenuhi, sebagaimana rasa lapar dipenuhi dengan makan dan rasa haus dihilangkan dengan minum.  Bisa dibilang, kreatifitas adalah syarat mutlak dari kemampuan seseorang untuk transendensi.

Kreatifitas berasal dari akar kata yang sama dengan kata "to create" atau menciptakan.  Kreatifitas adalah suatu kekuatan yang berbahan bakar emosi yang ditampung dalam tangki bahan bakar bernama kesabaran.  Kreatifitas tanpa kesabaran bagaikan minyak atau bensin yang terhamburkan, siap meledak setiap saat.  Bukanlah ciptaan bermanfaat yang dihasilkan namun malah kerusakan dan kehancuran yang terjadi.  Sementara kreatifitas tanpa emosi bagai mesin dengan tangki bahan bakar yang kosong melompong, tidak ada daya untuk menghasilkan apapun jua.  Dalam film Enter The Dragon, Bruce Lee menasihati seorang muridnya saat latihan.  "I said Emotional Content, not Anger" kata sang Master.  

Kreatifitas berarti juga keberanian untuk meninggalkan zona nyaman kita.  Untuk menjadi kreatif, mau tidak mau kita harus melakukan petualangan menuju wilayah yang sama sekali tidak kita ketahui.  Wilayah yang dipenuhi ketidak pastian dan tantangan bahkan marabahaya.  Seperti mendaki menara langit dalam badai halilintar yang menggelegar atau mengarungi samudra luas yang seakan tak bertepi.  

Ebiet G. Ade dalam lagunya "Apakah ada bedanya" menggambarkan pendakian menuju transendensi itu sebagai "Menara Langit".  Ketika sang pencinta meningkatkan level eksistensi dirinya, dari eksistensi materi, eksistensi energi hingga eksistensi jiwa.  Pendakian itu bagai menaiki menara yang menjulang tinggi ke langit, di tengah badai yang dahsyat dan petir yang sambar menyambar.  Pada bait-bait awal lagu, sang pencinta masih pada level eksistensi materi, hanya tertarik pada kondisi fisik yang dia cintai.  Walaupun kreatifitas sudah mulai tercipta, salah satunya dengan menuangkan apa yang dia rasakan ke dalam kanvas, ego sang pencinta terlihat masih dominan.  Dia masih dikuasai kebingungan dan kesedihan saat tiada bersama kekasihnya. 

Pada akhirnya, sang pencinta mengambil keputusan untuk mendaki menara langit transendensi dirinya, berbekal kreatifitas, emosi dan kesabaran.  Perlahan namun pasti dia mulai merasakan dirinya tiada terpisahkan secara energi dengan orang lain dan bahkan alam semesta.  Pada akhirnya dia merasakan tiada lagi perbedaan antara pertemuan dan perpisahan, sama sama nikmat.  Sama-sama menenteramkan jiwa sang pencinta yang sudah mengalami transendensi secara kreatif.   

Semoga bermanfaat