Karena warnet tempat saya bekerja sebagai operator berdekatan dengan sebuah rumah yang dijadikan markas oleh sebuah komunitas yang berpaham kiri, maka sesekali saya pun berinteraksi dengan mereka. Tidak terlalu intens memang, namun sedikit banyak saya bisa memahami pemikiran yang mereka anut. Kebutuhan emosional tertinggi manusia, menurut Arvan Pradiansyah, adalah DIPAHAMI. Bahkan, Steven Covey, penulis buku laris The 7 Habits of Highly Effective People, menggambarkan kebutuhan itu bagaikan kebutuhan tubuh akan oksigen. Sehingga, bisa dipahami mengapa banyak anak muda dan orang miskin tertarik pada paham tersebut. Bisa jadi, kaum miskin itu merasa lebih dipahami dan dihargai oleh para aktifis yang menyebarkan paham tersebut. Bukan tidak mungkin, banyak orang-orang miskin yang merasakan hal yang sama dengan para aktifis tersebut. Maka tidak mengherankan paham ke-kiri-kirian yang anti Tuhan dan anti agama itu menjadi cukup populer di kalangan masyarakat miskin menengah ke bawah. Sebaliknya, agama dan orang-orang beragama dianggap oleh mereka sebagai penindas yang tidak mau memahami mereka. Mereka menganggap bahwa para ustadz, dai dan kaum agamawan sebagai orang-orang yang hanya bisa "melangit" dan tidak "membumi". Hanya bisa berkhutbah dan berdoa tanpa bisa membantu menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka, baik fisik maupun emosional, secara real dalam bentuk yang nyata.
Paham-paham seperti itu pun bisa hadir karena negara dan para pemimpin hanya sekedar ada namun tidak dirasakan hadir mengayomi rakyatnya. Rakyat seakan dibiarkan sendiri menghadapi masalah-masalah mereka tanpa ada kepedulian dari para pemimipinnya. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita betapa banyaknya para petinggi yang terjerat kasus-kasus korupsi. Betapapun rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, mereka masih punya nurani dan perasaan. Mereka pun bisa merasakan kalau para pemimpinnya hanya memikirkan diri, keluarga dan partainya saja. Rakyat merasa bahwa mereka hanya penting saat Pemilu tiba. Saat suara mereka diperlukan untuk menggapai kekuasaan atau untuk kembali berkuasa, setelah itu dilupakan begitu saja.
Bagi saya sendiri, dibandingkan para bocah yang suka main games online berjam-jam tanpa henti, pemahaman para aktivis berpaham kiri ini lebih membuat hati sangat pedih dan miris. Bocah-bocah itu mungkin saja ada harapan untuk menjadi orang yang baik dan benar di kemudian hari. Namun, bagaimana dengan mereka sudah tidak beragama dan sudah terang-terangan memusuhi agama serta menolaknya sebagai jalan hidup yang ditetapkan Tuhan pada manusia? Bahkan sudah mendeklarasikan kekecewaan dan kemarahannya pada agama dan orang-orang beragama seperti di blog yang satu ini. Tentu akan sulit sekali mendakwahi mereka, karena persepsi mereka tentang agama sudah sedemikian buruk. Mungkin sama buruknya dengan orang-orang di Abad Pencerahan / Enlightenment di Eropa. Agama bagi mereka sudah identik dengan Inkuisisi atau Inquisition, sebuah institusi kejam yang melakukan segala macam penyiksaan sadis dan mengerikan. Hampir bisa dipastikan, akar pemahaman seperti itu berasal dari zaman tersebut. Agama identik dengan dogma-dogma yang membatasi kebebasan berpikir umat manusia.
Namun, sebagaimana pepatah yang berkata tidak ada api jika tidak ada asap, maka paham tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya. Padang rumput memang tidak mungkin akan terbakar sendiri, namun mengapa padang rumput itu bisa terbakar itu lain lagi persoalannya. Paham sosialis kiri tersebut bisa ditelusuri akarnya dari zaman Revolusi Industri di Inggris abad ke 18. Saat itu terjadi transisi antara pekerjaan yang didominasi tenaga manusia ke dominasi tenaga mesin. Sehingga, lebih banyak barang yang bisa diproduksi dan dijual. Orang pun berbondong-bondong datang ke kota dan mencari pekerjaan di sana. Pabrik-pabrik pun banyak didirikan. Namun, keserakahan membuat banyak pengusaha saling bersaing untuk mendapatatkan lebih banyak keuntungan. Mereka pun menggunakan segala cara untuk menggenjot produksi. Sehingga, buruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1234 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun. Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air dan sebagainya. Sehingga, bisa dipahami jika paham sosialisme yang menentang semua jenis kepemilikan pribadi menjadi berkembang dan digemari di kalangan buruh dan rakyat miskin.

Tidak jauh berbeda dengan keadaan di negeri kita sekarang ini. Seakan-akan sejarah kelam Revolusi Industri berulang kembali di negeri ini. John Pilgers, seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter, pernah membuat film dokumenter berjudul The New Rulers. Film itu berkisah tentang para buruh di pabrik di Indoneisa, yang hanya digaji minim dan seringkali berada dalam kondisi kerja yang sangat memprihatinkan tanpa penghargaan yang cukup. Pilgers sendiri sampai terjangkit malaria saat shooting di sebuah pemukiman padat tempat tinggal para buruh tersebut. Imam Syafii, seorang tukang sampah yang difilmkan oleh BBC di acara "The Toughest Place to be a Binman" tinggal di rumah gubuk berdindign tripleks di kawasan Kawi Buntu, Guntur. Ratusan pemulung hidup dari mengais dan memunguti sampah di TPA Bantar Gebang dan TPA-TPA lainnya. Sementara itu, ratusan warga hidup dengan berbagai macam penyakit di desa Jagabita alias Kampung Pesakitan dan desa-desa lainnya di daerah Parung Panjang, Bogor. Sedikit sekali perhatian dan bantuan yang diberikan secara serius kepada mereka. Sehingga, apapun agama dan ideologinya, jika ada orang yang datang dan memberikan perhatian dan bantuan yang tulus atau dirasakan tulus pada mereka, mereka akan menerimanya.

Semua itu seharusnya menjadi tamparan keras bagi kaum muslimin yang seharusnya menjadi rahmatan lil alamin. Apalagi, Indonesia ini adalah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Keberhasilan mereka mempengaruhi banyak orang seharusnya merupakan otokritik dan motivasi bagi kaum muslimin untuk memperbaiki cara mereka berdakwah dan meningkatkan kepedulian pada sesama. Jangan sampai kita sibuk sendiri di berbagai forum diskusi, seminar, majelis taklim atau di masjid-masjid namun kita lupakan orang-orang Islam yang ada di sekitar kita, terutama yang hidupnya terhimpit oleh kemiskinan. Mereka adalah saudara-saudara kita juga dan ladang amal bagi kita semua. Seperti dalam salah satu editorial majalah online Wasathon, kita ambil peran negara yang kita mampu tanpa ada niatan untuk memberontak atau memisahkan diri. Semoga bermanfaat.
Paham-paham seperti itu pun bisa hadir karena negara dan para pemimpin hanya sekedar ada namun tidak dirasakan hadir mengayomi rakyatnya. Rakyat seakan dibiarkan sendiri menghadapi masalah-masalah mereka tanpa ada kepedulian dari para pemimipinnya. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita betapa banyaknya para petinggi yang terjerat kasus-kasus korupsi. Betapapun rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, mereka masih punya nurani dan perasaan. Mereka pun bisa merasakan kalau para pemimpinnya hanya memikirkan diri, keluarga dan partainya saja. Rakyat merasa bahwa mereka hanya penting saat Pemilu tiba. Saat suara mereka diperlukan untuk menggapai kekuasaan atau untuk kembali berkuasa, setelah itu dilupakan begitu saja.
Bagi saya sendiri, dibandingkan para bocah yang suka main games online berjam-jam tanpa henti, pemahaman para aktivis berpaham kiri ini lebih membuat hati sangat pedih dan miris. Bocah-bocah itu mungkin saja ada harapan untuk menjadi orang yang baik dan benar di kemudian hari. Namun, bagaimana dengan mereka sudah tidak beragama dan sudah terang-terangan memusuhi agama serta menolaknya sebagai jalan hidup yang ditetapkan Tuhan pada manusia? Bahkan sudah mendeklarasikan kekecewaan dan kemarahannya pada agama dan orang-orang beragama seperti di blog yang satu ini. Tentu akan sulit sekali mendakwahi mereka, karena persepsi mereka tentang agama sudah sedemikian buruk. Mungkin sama buruknya dengan orang-orang di Abad Pencerahan / Enlightenment di Eropa. Agama bagi mereka sudah identik dengan Inkuisisi atau Inquisition, sebuah institusi kejam yang melakukan segala macam penyiksaan sadis dan mengerikan. Hampir bisa dipastikan, akar pemahaman seperti itu berasal dari zaman tersebut. Agama identik dengan dogma-dogma yang membatasi kebebasan berpikir umat manusia.
Namun, sebagaimana pepatah yang berkata tidak ada api jika tidak ada asap, maka paham tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya. Padang rumput memang tidak mungkin akan terbakar sendiri, namun mengapa padang rumput itu bisa terbakar itu lain lagi persoalannya. Paham sosialis kiri tersebut bisa ditelusuri akarnya dari zaman Revolusi Industri di Inggris abad ke 18. Saat itu terjadi transisi antara pekerjaan yang didominasi tenaga manusia ke dominasi tenaga mesin. Sehingga, lebih banyak barang yang bisa diproduksi dan dijual. Orang pun berbondong-bondong datang ke kota dan mencari pekerjaan di sana. Pabrik-pabrik pun banyak didirikan. Namun, keserakahan membuat banyak pengusaha saling bersaing untuk mendapatatkan lebih banyak keuntungan. Mereka pun menggunakan segala cara untuk menggenjot produksi. Sehingga, buruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1234 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun. Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air dan sebagainya. Sehingga, bisa dipahami jika paham sosialisme yang menentang semua jenis kepemilikan pribadi menjadi berkembang dan digemari di kalangan buruh dan rakyat miskin.

Tidak jauh berbeda dengan keadaan di negeri kita sekarang ini. Seakan-akan sejarah kelam Revolusi Industri berulang kembali di negeri ini. John Pilgers, seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter, pernah membuat film dokumenter berjudul The New Rulers. Film itu berkisah tentang para buruh di pabrik di Indoneisa, yang hanya digaji minim dan seringkali berada dalam kondisi kerja yang sangat memprihatinkan tanpa penghargaan yang cukup. Pilgers sendiri sampai terjangkit malaria saat shooting di sebuah pemukiman padat tempat tinggal para buruh tersebut. Imam Syafii, seorang tukang sampah yang difilmkan oleh BBC di acara "The Toughest Place to be a Binman" tinggal di rumah gubuk berdindign tripleks di kawasan Kawi Buntu, Guntur. Ratusan pemulung hidup dari mengais dan memunguti sampah di TPA Bantar Gebang dan TPA-TPA lainnya. Sementara itu, ratusan warga hidup dengan berbagai macam penyakit di desa Jagabita alias Kampung Pesakitan dan desa-desa lainnya di daerah Parung Panjang, Bogor. Sedikit sekali perhatian dan bantuan yang diberikan secara serius kepada mereka. Sehingga, apapun agama dan ideologinya, jika ada orang yang datang dan memberikan perhatian dan bantuan yang tulus atau dirasakan tulus pada mereka, mereka akan menerimanya.

Semua itu seharusnya menjadi tamparan keras bagi kaum muslimin yang seharusnya menjadi rahmatan lil alamin. Apalagi, Indonesia ini adalah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Keberhasilan mereka mempengaruhi banyak orang seharusnya merupakan otokritik dan motivasi bagi kaum muslimin untuk memperbaiki cara mereka berdakwah dan meningkatkan kepedulian pada sesama. Jangan sampai kita sibuk sendiri di berbagai forum diskusi, seminar, majelis taklim atau di masjid-masjid namun kita lupakan orang-orang Islam yang ada di sekitar kita, terutama yang hidupnya terhimpit oleh kemiskinan. Mereka adalah saudara-saudara kita juga dan ladang amal bagi kita semua. Seperti dalam salah satu editorial majalah online Wasathon, kita ambil peran negara yang kita mampu tanpa ada niatan untuk memberontak atau memisahkan diri. Semoga bermanfaat.
Bila masih mungkin kita menorehkan batin
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
hoo..oo..du..du...du..ouoo...ouoo
Kita pasti ingat tragedi yang memilukan
kenapa harus mereka yang tertimbun tanah
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mari heningkan cipta
Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung
Hanya atas kasihNya hanya atas kehendaknya kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang kepada bintang gemintang
kita dapat mencoba meminjam catatanNya
Sampai kapankah gerangan
waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng semuanya terdiam semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud mumpung kita masih di beri waktu
Ebiet G.Ade - Masih Ada Waktu
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
hoo..oo..du..du...du..ouoo...ouoo
Kita pasti ingat tragedi yang memilukan
kenapa harus mereka yang tertimbun tanah
Tentu ada hikmah yang harus kita petik
Atas nama jiwa mari heningkan cipta
Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung
Hanya atas kasihNya hanya atas kehendaknya kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang kepada bintang gemintang
kita dapat mencoba meminjam catatanNya
Sampai kapankah gerangan
waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng semuanya terdiam semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud mumpung kita masih di beri waktu
Ebiet G.Ade - Masih Ada Waktu
9 komentar: