Unhappy, overly emotional and pessimistic people cannot appreciate the beauty and blessing of this world. Though they may surrounded by countless examples of this beauty, they see only negative aspect of things, and become even more depressed. However, God, in His mercy and compassion, created these blessings for the sake of human beings. A believer keeps this idea at the forefront of his mind, and is grateful to God for His Blessings.
Harun Yahya, Romanticism: A Weapon of Satan, page 114-115
(diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dzikra dengan Judul: Ancaman di balik Romantisisme)
Harun Yahya, Romanticism: A Weapon of Satan, page 114-115
(diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dzikra dengan Judul: Ancaman di balik Romantisisme)
Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang tukang minuman yang biasa menjual dagangannya di depan masjid dekat rumah saya. Dia mengatakan anaknya akan masuk sekolah SMP dan harus membayar uang sekolah sekitar 2 juta rupiah. Dia juga mengeluh kepada saya calon kepala daerah yang menang di dareahnya tersebut memang menjanjikan bahwa di daerah tersebut sekolah akan gratis. Saya sendiri tidak bisa menjawab karena saya sendiri sudah lama tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan partai tersebut, sejak pilkada DKI kemarin bulan Agustus 2007.
Saya sendiri tetap berkhusnudzon alias berprasangka baik pada partai tersebut sebab menurut pengetahuan saya segala sesuatu memerlukan proses. Banyak sekali manusia di dunia ini yang tidak mau melalui proses yang sesuai dengan syariat dan sunatullah. Tentu sulit bagi kita untuk mengubah sesuatu yang sudah lama rusak menjadi baik kembali dalam waktu singkat betapapun besar tekad dan keinginan kita.
Kejadian di atas mengingatkan saya pada pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi saat saya masih duduk di bangku suatu Sekolah Menengah Pertama di Jakarta.
Pada waktu itu saya dan teman-teman sedang gandurng sekali main Video Game. Walaupun saat itu Video games masih sangat sederhana, tetapi bagi kami sudah cukup menghibur dan bikin ketagihan. Namun, karena pada waktu itu software video games tersebut masih dikemas dalam bentuk cartridge, maka harganya sangat mahal. Tidak seperti CD yang sangat mudah dibajak sehingga harganya jadi sangat murah. Nah, salah satu cara mengantisipasi kebosanan akibat main game yang itu-itu saja adalah dengan saling meminjam cartridge video games milik teman. Namun, ternyata rasa tanggung jawab anak-anak SMP pada waktu itu sangat kurang. Bukan saja masalah disiplin belajar atau membuat pekerjaan rumah alias PR, tetapi juga dalam rangka menjaga amanah barang-barang milik teman-teman mereka. Salah satu contohnya adalah meminjamkan cartridge game milik orang lain ke teman yang lain tanpa izin yang punya.
Pada saat itus aya punya seorang teman bernama X (laki-laki, bukan nama sebenarnya). Kami sama-sama suka main game sehingga kami cepat sekali dekat satu sama lain. Pulang sekolah bareng, main bareng. Saya juga senang sih karena si X ini kayaknya orangnya baik, terlalu baik malah. Lama-lama saya jadi tidak nyaman sendiri.
Pernah suatu hari, pulang dari sekolah, kami mampir ke sebuah tempat permainan ding-dong (bahasa kerennya Arcade, tempat main game dengan koin atau uang logam). Nah, pada saat itu saya, yang sedang membawa cartridge game milik teman adik saya. Dan, saat saya memeriksa tas, Astaghfirullah, ternyata cartridge game tersebut hilang. Akhirnya dengan berat hati dan setelah melalui pertengkaran yang cukup hebat, orang tua saya terpaksa mengganti cartridge game yang lumayan mahal itu.
Namun, terus terang saya belum pernah punya teman sebrengsek si X ini. Dia juga pernah menipu saya sehingga mainan action figures (orang-orangan favorit saya) entah bagaimana bisa dia ambil dan bawa pulang dengan sukses. Lalu dia membuat saya stress berat saat dia menekan saya saat saya tanpa sengaja menghilangkan kalkulator scientific yang saat itu masih mahal harganya. Saat itu saya dipaksa mengumpulkan uang untukmengganti kalkulator tersebut tetapi saya tidak boleh bilang orang tua, alasannya saya sudah cukup membebani orang tua selama ini. Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apakah kalkulator itu hilang karena saya atau karena dia atau karena orang lain. Bisa jadi saya dijebak. Dia juga sering menakut-nakuti saya dengan ancaman bahwa dia tahu gang yang ada disekitar tempat tinggal saya. Untunglah kedua orang tua saya masih membela saya mati-matian dan bahkan memperkarakan hal ini ke sekolah. Saya lihat dia takut juga.
Terakhir dia minta saya meminjamkan gitar saya, gitar satu-satunya. Saat itu entah dari mana saya punya keberania untuk menolak. Walaupun dia marah-marah, saya tidak peduli. Setelah itu, saya tidak pernah bertemu dengan dia sampai hari ini. Semoga Alloh SWT memberinya hidayah dan membuat dia kembali ke jalan yang benar. Namun, saya juga yakin bahwa di negeri ini masih banyak X yang lain, yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan selalu berusaha mengambil keuntungan dari orang lain tanpa memikirkan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.
Kisah pengalaman saya di atas bisa jadi hanya merupakan suatu fragment kecil dari kebodohan dan kemiskinan yang melanda bangsa ini. Masyarakat yang sudah susah, miskin, bodoh dan sakit-sakitan ini malah dikasih hiburan yang berlebihan, bukannya dididik dan dilatih agar siap menghadapi tantangan. Hiburan yang akhirnya malah membuat amanah, yaitu barang pinjaman, malah jadi awal dari hancurnya persahabatan dan konflik yang berkepanjangan.
Terus saya berpikir lagi, apakah kebodohan dan kemiskinan tersebut sengaja dipertahankan agar orang-orang yang sedang berkuasa bisa mempertahankan kekuasaannya? Bukankah artinya ada ”social time bomb” (bom waktu sosial) yang bisa meledak setiap saat seperti zaman Revolusi Prancis dan sebagainya. Ingat, George Santayana pernah mengatakan “Whoever forget the past, are condemned to repeat it” (siapa yang melupakan sejarah, maka dia akan ditakdirkan mengulanginya). Inilah masalah bangsa kita, melupakan sejarah baik sejarah bansanya sendiri apalagi sejarah dunia. Mereka juga tidak melihat bahwa banyak sekali karunia dari Alloh SWT di sekitar mereka dan kenyataan bahwa banyak orang yang bisa keluar dari kemiskinan. Menyedihkan sekali.
Saya sendiri tetap berkhusnudzon alias berprasangka baik pada partai tersebut sebab menurut pengetahuan saya segala sesuatu memerlukan proses. Banyak sekali manusia di dunia ini yang tidak mau melalui proses yang sesuai dengan syariat dan sunatullah. Tentu sulit bagi kita untuk mengubah sesuatu yang sudah lama rusak menjadi baik kembali dalam waktu singkat betapapun besar tekad dan keinginan kita.
Kejadian di atas mengingatkan saya pada pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi saat saya masih duduk di bangku suatu Sekolah Menengah Pertama di Jakarta.
Pada waktu itu saya dan teman-teman sedang gandurng sekali main Video Game. Walaupun saat itu Video games masih sangat sederhana, tetapi bagi kami sudah cukup menghibur dan bikin ketagihan. Namun, karena pada waktu itu software video games tersebut masih dikemas dalam bentuk cartridge, maka harganya sangat mahal. Tidak seperti CD yang sangat mudah dibajak sehingga harganya jadi sangat murah. Nah, salah satu cara mengantisipasi kebosanan akibat main game yang itu-itu saja adalah dengan saling meminjam cartridge video games milik teman. Namun, ternyata rasa tanggung jawab anak-anak SMP pada waktu itu sangat kurang. Bukan saja masalah disiplin belajar atau membuat pekerjaan rumah alias PR, tetapi juga dalam rangka menjaga amanah barang-barang milik teman-teman mereka. Salah satu contohnya adalah meminjamkan cartridge game milik orang lain ke teman yang lain tanpa izin yang punya.
Pada saat itus aya punya seorang teman bernama X (laki-laki, bukan nama sebenarnya). Kami sama-sama suka main game sehingga kami cepat sekali dekat satu sama lain. Pulang sekolah bareng, main bareng. Saya juga senang sih karena si X ini kayaknya orangnya baik, terlalu baik malah. Lama-lama saya jadi tidak nyaman sendiri.
Pernah suatu hari, pulang dari sekolah, kami mampir ke sebuah tempat permainan ding-dong (bahasa kerennya Arcade, tempat main game dengan koin atau uang logam). Nah, pada saat itu saya, yang sedang membawa cartridge game milik teman adik saya. Dan, saat saya memeriksa tas, Astaghfirullah, ternyata cartridge game tersebut hilang. Akhirnya dengan berat hati dan setelah melalui pertengkaran yang cukup hebat, orang tua saya terpaksa mengganti cartridge game yang lumayan mahal itu.
Namun, terus terang saya belum pernah punya teman sebrengsek si X ini. Dia juga pernah menipu saya sehingga mainan action figures (orang-orangan favorit saya) entah bagaimana bisa dia ambil dan bawa pulang dengan sukses. Lalu dia membuat saya stress berat saat dia menekan saya saat saya tanpa sengaja menghilangkan kalkulator scientific yang saat itu masih mahal harganya. Saat itu saya dipaksa mengumpulkan uang untukmengganti kalkulator tersebut tetapi saya tidak boleh bilang orang tua, alasannya saya sudah cukup membebani orang tua selama ini. Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apakah kalkulator itu hilang karena saya atau karena dia atau karena orang lain. Bisa jadi saya dijebak. Dia juga sering menakut-nakuti saya dengan ancaman bahwa dia tahu gang yang ada disekitar tempat tinggal saya. Untunglah kedua orang tua saya masih membela saya mati-matian dan bahkan memperkarakan hal ini ke sekolah. Saya lihat dia takut juga.
Terakhir dia minta saya meminjamkan gitar saya, gitar satu-satunya. Saat itu entah dari mana saya punya keberania untuk menolak. Walaupun dia marah-marah, saya tidak peduli. Setelah itu, saya tidak pernah bertemu dengan dia sampai hari ini. Semoga Alloh SWT memberinya hidayah dan membuat dia kembali ke jalan yang benar. Namun, saya juga yakin bahwa di negeri ini masih banyak X yang lain, yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan selalu berusaha mengambil keuntungan dari orang lain tanpa memikirkan akibat jangka panjang yang ditimbulkan.
Kisah pengalaman saya di atas bisa jadi hanya merupakan suatu fragment kecil dari kebodohan dan kemiskinan yang melanda bangsa ini. Masyarakat yang sudah susah, miskin, bodoh dan sakit-sakitan ini malah dikasih hiburan yang berlebihan, bukannya dididik dan dilatih agar siap menghadapi tantangan. Hiburan yang akhirnya malah membuat amanah, yaitu barang pinjaman, malah jadi awal dari hancurnya persahabatan dan konflik yang berkepanjangan.
Terus saya berpikir lagi, apakah kebodohan dan kemiskinan tersebut sengaja dipertahankan agar orang-orang yang sedang berkuasa bisa mempertahankan kekuasaannya? Bukankah artinya ada ”social time bomb” (bom waktu sosial) yang bisa meledak setiap saat seperti zaman Revolusi Prancis dan sebagainya. Ingat, George Santayana pernah mengatakan “Whoever forget the past, are condemned to repeat it” (siapa yang melupakan sejarah, maka dia akan ditakdirkan mengulanginya). Inilah masalah bangsa kita, melupakan sejarah baik sejarah bansanya sendiri apalagi sejarah dunia. Mereka juga tidak melihat bahwa banyak sekali karunia dari Alloh SWT di sekitar mereka dan kenyataan bahwa banyak orang yang bisa keluar dari kemiskinan. Menyedihkan sekali.
2 komentar: