Senin, 16 Mei 2011

[Renungan] Ikhlas = BAB?

Entah siapa yang memulai, namun kita sering mendengar bahwa perumpamaan ikhlas adalah seperti, maaf, BAB.  Sesudah dikeluarkan, tidak perlu lagi dilihat atau dipikirkan.  Mungkin itulah sebabnya banyak diantara kita yang amalnya sperti orang kebelet untuk ke belakang.  Seperti sholat, saat salam terakhir diucapkan dan kepala ditengokkan ke kiri, saat itu timbul perasaan lega yang luar biasa. Alhamdulillah, sudah selesai.  Itu pun terkadang dikerjakan di menit-menit terakhir, sekitar 30 menit sebelum waktu sholat yang bersangkutan berakhir dan masuk waktu sholat yang baru. Puasa pun demikian, yang penting tidak makan, minum atau berhubungan intim di siang hari.  Sesudah adzan Maghrib berkumandang, rasa lega pun datang, kewajiban sudah tertunaikan.  Sambil menghela nafas panjang, kita pun seperti terlepas dari beban yang sangat berat.  

Paradigma ikhlas yang seperti itu membuat kita beramal dan beribadah secara asal-asalan.  Ibadah ritual tidak kita perhatikan aspek rukun dan sunnahnya.  Sementara amal sholeh kita kerjakan seenak hati kita.   Mirip dengan Qabil, anak nabi Adam yang durhaka.  Dia mempersembahkan qurbannya dengan tanam-tanaman yang sudah membusuk dan tidak layak dimakan.  Pada akhirnya, bukan hanya kepada Allah kita durhaka namun juga kepada sesama manusia dan alam sekitar kita.  Betapa banyak orang yagn seharusnya mendapat manfaat dari amal-amal yang kita lakukan dengan baik, namun kita lakukan dengan asal-asalan.  Kita pun kehilangan kesempatan meraih kebaikan dari orang lain, baik dalam bentuk balasan pertolongan atau doa-doa yang tulus.  

Kalau kita merujuk kepada penjelasan Ibnul Qayyim tentang syarat diterimanya amal, maka sudah semestinya kita memikirkan ulang paradigma ikhlas tadi.  Ibnul Qayyim, mengatakan bahwa amalan itu dikerjakan karena:

1. Ada kecintaan kepada Allah ta'ala.  
2. Ada rasa takut karena azabNya yang Maha Pedih
3. Ada rasa harap, agar amal itu diterima Allah (lebih kita kenal, dengan konsep khauf dan roja).

Maka, ikhlas sesungguhnya adalah seperti kita mempersembahkan sesuatu yang berharga kepada orang yang kita cintai, raja yang kita hormati atau kepada majikan yg mempekerjakan kita.  Allah SWT adalah Raja, Kekasih sekaligus Majikan kita dalam kehidupan di dunia ini.  Apakah kita rela dan tega mempersembahkan sesuatu yang seharusnya kita buang ke belakang kepada kekasih kita? Apakah kita berani memberikan sesuatu yang serupa dengan yang kitapun jijik melihatnya kepada Raja atau Penguasa yang kita hormati dan takuti? Apakah layak kita menjual sesuatu yang merupakan limbah dari tubuh kita sendiri kepada pembeli barang dagangan yang kita jual?

Al Quran sendiri mengumpamakan Ikhlas seperti susu yang mengalir di antara kotoran dan darah dalam tubuh sapi.  Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS 16 : 66)".  Mungkin kita bisa membayangkan kita berada di sebuah restoran untuk memesan segelas susu murni.  Betapa gusarnya kita apabila saat disuguhi susu murni yang kita pesan, ternyata ada kotoran dan darah di dalamnya.  Bisa jadi kita marah dan komplain kepada pelayan restoran tersebut, atau bahkan kita tidak pernah lagi memesan susu di sana.  Bisa jadi, susu sebelanga yang ada dalam hati kita telah ternodai kotoran dan darah sehingga tidak layak lagi untuk dijual dan dikonsumsi.  Padahal pahala hasil amal sholeh kita, yang dianalogikan sebagai susu itulah bekal kita di akhirat nanti.  Betapa meruginya kita apabila ternyata bekal kita sudah tidak berharga lagi saat perhitungan akhir dilaksanakan di sana.   "... Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu...." (QS. Az Zumar: 65).
 
Seorang sufi mencari penghidupannya dengan menenun kain.  Suatu saat, di pasar, seorang pembeli yang sangat ahli tentang kain mendatanginya.  Sang pembeli menunjukkan kekurangan-kekurangan yang ada pada kain tersebut.  Sang sufi terkejut dan menangis.  "Mengapa anda menangis" tanya si pembeli "Aku akan tetap membeli kain ini".  Sang sufi menjawab "Ketahuilah saudaraku, bukan kain ini yang kutangisi.  Namun, aku takut akan ibadah dan amalanku selama ini. Jika engkau saja bisa mengetahui kekurangan hasil kerja dan amalku, apalagi Dia yang Maha Mengetahui". Hari Moekti, seorang mantan rocker yang sekarang menjadi dai pernah berkata: "Orang yang ikhlas itu tidak takut kaya dan tidak takut miskin. Tidak takut terkenal dan tidak takut tidak terkenal. Saya sering dihina dengan pilihan saya, tetapi saya berbahagia, karena dengan dihina dosa saya terhapus". Pernyataan Kang Hari itu dikutip dari buku Menjadi Pemenang Kehidupan terbitan Leutika Publisher.

Ikhlas adalah rahasia terdalam antara hamba pelaku dengan Allah SWT. Malaikat pencatat dan setan penggoda pun tidak mengetahui tingkat keikhlasan kita.  Bahkan, Allah SWT lebih mengetahui keikhlasan kita dibandingkan diri kita sendiri.  Ikhlas adalah proses belajar yang panjang, bahkan mungkin merupakan pelajaran tersulit dan terberat dari segala pelajaran yang harus kita lalui dalam kehidupan.  Belajar untuk ikhlas adalah dengan beramal itu sendiri, beramal dengan sebaik-baiknya tanpa mengharap apapun dari manusia.  Kita memohon kepada Allah agar bisa beribadah dengan ikhlas untuk-Nya semata, sebagaimana doa Nabi Ibrahim 'alaihissalam: "... Sesungguhnya jika Rabb-ku tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." (QS. al An'aam: 77).

Related links

Ringkasan buku Ikhlas Syarat diterimanya Ibadah

Inginkah anda menjadi orang yang ikhlas

ikhlas itu, ibarat buang air besar (maaf)?
 

3 komentar: